JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat militer sekaligus Ketua Badan Pekerja Centra Initiative, Al Araf, menilai, reformasi TNI mengalami kemunduran sejak pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dan semakin diperkuat di bawah rezim pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Salah satu indikatornya adalah keterlibatan militer yang semakin jauh ke wilayah nonpertahanan.
“Secara empiris, kalau kita perhatikan, rezim pemerintahan Jokowi disebut sebagai rezim yang membangun kemunduran bagi reformasi TNI dan memberikan ruang buat militer masuk ke wilayah-wilayah nonpertahanan terlalu jauh," kata Al Araf, dalam peluncuran Jurnal Prisma edisi khusus “Hubungan Sipil-Militer di Tengah Krisis Demokrasi”, Selasa (16/9/2025).
Baca juga: Ketua KPU Bantah Lindungi Jokowi dan Gibran dengan Rahasiakan Ijazah Capres-Cawapres
Ia mencontohkan, pada era Jokowi, TNI dilibatkan dalam program cetak sawah, ketahanan pangan, proyek strategis nasional, bahkan penanganan aksi massa dan isu buruh.
Menurut Al Araf, langkah ini serupa dengan praktik dwifungsi ABRI di masa Orde Baru, di mana militer keluar dari fungsi pertahanan dan masuk ke ranah sosial-politik.
“Bahwa fungsi utama militer adalah sebagai fungsi pertahanan. Jadi, ketika dia keluar jauh dari fungsi itu, mengurusi program cetak sawah, ketahanan pangan, lalu kemudian proyek strategis nasional, terlibat dalam mengatasi aksi massa, menangani persoalan isu buruh, dan lain sebagainya," kata dia.
"Itu bisa saya katakan bahwa, ya itulah dwifungsi. Dia keluar jauh dari fungsi pertahanan dan masuk ke fungsi-fungsi sosial politik lainnya," sambung dia.
Menurut dia, apa yang dibuka oleh Jokowi menjadi “kotak Pandora” yang di era sekarang justru semakin dilebarkan.
Baca juga: Diperiksa di Bareskrim, Bigmo Harap Bisa Mediasi dengan Azizah Salsha
Ia menyebut, ada setidaknya enam langkah rekonsolidasi militer yang terjadi saat ini.
Pertama, rekonsolidasi regulasi dengan merevisi UU TNI agar memudahkan militer masuk ke ruang nonpertahanan.
Kedua, rekonsolidasi struktur dengan membangun batalion-batalion teritorial dan tempur di berbagai daerah.
Ketiga, rekonsolidasi peran melalui pelibatan militer dalam program nonperang, termasuk ketahanan pangan.
Keempat, rekonsolidasi ekonomi yang membuka peluang kembalinya bisnis militer dalam format baru.
Kelima, rekonsolidasi publik dengan menempatkan militer sebagai variabel penting dalam politik dan ruang publik.
Keenam, rekonsolidasi politik dengan distribusi personel TNI ke jabatan sipil, termasuk kementerian dan lembaga negara.
"Enam langkah rekonsolidasi militer itu tidak lain dan tidak bukan terjadi dan berjalan hari ini untuk menopang risiko pemerintahan yang ada, dan untuk melanjutkan rezim pemerintahan yang ada," tutur Al Araf.
Baca juga: KPU Minta Maaf Aturan Rahasiakan Ijazah Capres-Cawapres Bikin Riuh
Ia mengingatkan, hubungan sipil-militer seharusnya diarahkan pada objective civilian control, yakni sipil mengendalikan militer untuk membangun profesionalisme pertahanan.
Namun, yang terjadi justru subjective civilian control, di mana militer dipolitisasi untuk kepentingan rezim.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini