Penulis: Nik Martin/DW Indonesia
BERLIN, KOMPAS.com - Boleh jadi, tidak banyak khalayak Indonesia yang pernah mendengar tentang KfW. Bank pembangunan terbesar di dunia ini didukung negara Jerman dan didirikan untuk membiayai proyek-proyek di seluruh dunia, mulai dari pembangunan jalan di Afrika hingga sistem air bersih di Asia.
Namun, apa jadinya ketika proyek yang didanai bank KfW justru terlibat menggusur desa, mencemari sungai, atau membungkam kritik secara ilegal?
Sebuah laporan baru tentang catatan HAM KfW menyebutkan hal itu bukan sekadar kemungkinan, melainkan risiko nyata yang tidak ditangani dengan baik.
Baca juga: 211 Organisasi HAM Kecam Kekerasan Aparat RI dalam Pengamanan Demo
Dengan slogan "Responsible Banking”, KfW didanai oleh miliaran euro dana pajak. Karena itu, kegagalan bank ini bukan hanya dianggap tragedi, tetapi juga ditanggung langsung oleh pembayar pajak di Jerman.
Apa tuduhan terhadap KfW?
Laporan yang disusun Koalisi untuk Hak Asasi Manusia dalam Pembangunan — gabungan organisasi masyarakat sipil — menyoroti dampak proyek KfW terhadap komunitas rentan dan masyarakat adat.
Koalisi yang juga melibatkan Urgewald, kelompok pengawas berbasis di Jerman yang memantau dampak sosial dan lingkungan dari pembiayaan global, menuding bank itu melakukan "perbankan tidak bertanggung jawab” dan menyebabkan "kerugian tersembunyi.”
Bank pembangunan seperti KfW kerap menekankan bagaimana mereka membantu membentuk masa depan di negara berkembang. Namun laporan itu menuding proyek infrastruktur yang didanai KfW menyebabkan penggusuran paksa masyarakat adat di Indonesia, Meksiko, dan sejumlah negara lain — tanpa keterlibatan yang memadai maupun kompensasi.
Proyek-proyek tersebut juga disebut menimbulkan kerusakan lingkungan. Penulis laporan menyoroti proyek biomassa dan tenaga hidro di Eropa Timur dan Selatan yang diduga berkontribusi terhadap polusi udara dan degradasi air, dengan minim transparansi serta akuntabilitas.
Marc Fodor, koordinator kampanye koalisi, mengatakan bagi KfW isu sosial dan lingkungan hanya dianggap sebagai "tambahan” dalam kesepakatan bisnis.
Berbicara kepada DW, Fodor menyebut laporan itu menunjukkan banyak proyek yang didukung KfW diluncurkan tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan dari masyarakat lokal, sehingga melanggar standar internasional mengenai hak masyarakat adat dan pembangunan partisipatif.
Dia juga menyinggung penyelidikan internal KfW atas dugaan represi serius di Indonesia, di mana masyarakat adat dilaporkan ditangkap dan dipukuli. Hasil investigasi bank hanya menyimpulkan bahwa "persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan tidak dihormati.”
"Masalahnya bukan hanya orang-orang tidak diajak konsultasi. Jauh lebih serius dari itu,” kata Fodor.
Kepekaan budaya yang diabaikan
Contoh lain dalam laporan adalah Kenya, di mana komunitas Maasai dipindahkan akibat proyek panas bumi dan infrastruktur di kawasan Kedong Ranch, sekitar 93 kilometer barat laut Nairobi. Tanah ini telah lama dipersengketakan, dengan kelompok Maasai mengklaim kepemilikan leluhur.
Fodor berpendapat bahwa masyarakat Maasai kemudian ditempatkan di rumah-rumah baru yang "tidak sesuai secara budaya”, tidak mendukung praktik tradisional, serta menyebabkan keterasingan dan runtuhnya ikatan komunitas.