Bappenas: Krisis Iklim Bakal Bikin 90 Persen Nelayan Kecil Sulit Melaut

2 hours ago 1

KOMPAS.com - Krisis iklim berpotensi membahayakan sektor kelautan.

Pemodelan Kementerian PPN/Bappenas menunjukkan, berdasarkan proyeksi tinggi gelombang 2006–2025, sekitar 90 persen perairan Indonesia akan terlalu berbahaya bagi kapal berkapasitas kurang dari 10 gross tonnage (GT).

"Artinya, nelayan-nelayan kita yang saat ini didominasi nelayan kecil di bawah 10 GT itu tidak bisa melaut lagi," ujar Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian PPN/Bappenas, Mohamad Rahmat Mulianda, dalam webinar Ancaman dari Tepi Pantai, Jumat (12/9/2025).

Gelombang tinggi juga mengancam jalur pelayaran tol laut. Misalnya, rute Pelni di perairan barat Sumatera diproyeksikan akan melintasi gelombang lebih dari 3 meter.

"Konektivitas akan terganggu apabila kita tidak mampu membuat kapal-kapal yang siap dengan risiko dan perubahan iklim ini," tutur Rahmat.

Menurut Rahmat, potensi kerugian ekonomi akibat krisis iklim diperkirakan mencapai Rp 400,8 triliun di sektor kelautan dan Rp 6,7 triliun di sektor pesisir.

Baca juga: Krisis Iklim Ancam Piala Dunia 2026, Stadion Tak Aman untuk Bertanding

Ancaman Polusi dan Sampah

Selain gelombang tinggi, masyarakat pesisir juga menghadapi polusi, kerusakan lingkungan, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Polusi di kawasan pesisir berasal dari buangan rumah tangga dan tumpahan minyak. Hingga kini, masyarakat Indonesia belum mampu memilah dan mengelola sampah rumah tangga secara efektif ke dalam ekonomi sirkular.

Akibatnya, sampah masuk ke laut tanpa pengolahan memadai, mencemari perairan, dan merusak ekosistem. Sampah plastik bahkan termakan ikan, lalu terakumulasi dalam tubuhnya, dan akhirnya dikonsumsi manusia.

"Ini bisa jadi bencana juga nih sampah yang luar biasa masuk ke laut. Tanpa kita kontrol bisa jadi bencana pesisir, bencana ekosistem," ucapnya.

Rahmat juga menekankan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati, mengingat Indonesia dikenal sebagai negara mega biodiversity.

"Kita dikenal dunia sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia, baik itu terestrial di hutan ataupun di laut. (Maka kita) harus mampu menjaganya, jangan sampai hilang beberapa spesies, kita menganggap itu biasa saja. Itu tidak bisa, itu. Kita harus menjaga benar-benar, jangan sampai ada spesies yang punah," ujar Rahmat.

Baca juga: BNPB: Banjir Bali Tunjukkan Kompleksitas Iklim, Bencana Hidrometeorologi, dan Prakiraan Cuaca

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Read Entire Article
Kunjungan Pemerintah | Dewasa | | |