JAKARTA, KOMPAS.com - Jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) terus bertambah, dan kenaikan harga pangan seperti beras terus menekan masyarakat yang daya belinya tengah melemah.
Kondisi ini menjadikan peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai penopang ekonomi rakyat semakin krusial.
Hal ini turut disadari oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Menurutnya, fiskal negara tidak hanya perlu dijaga agar tetap sehat, tetapi juga harus mampu memberi dorongan nyata bagi perekonomian. "Let's say saya buat fiskalnya sehat, tapi kalau nggak dibelanjain juga ekonominya nggak jalan, runtuh juga nanti ekonominya. Jadi fiskalnya sehat, tapi kita pastikan nggak mengganggu sistem keuangan dan belanjanya bisa optimal," ujarnya saat konferensi pers di kantornya, Senin (8/9/2025).
Dia menyoroti realisasi belanja pemerintah yang masih rendah pada Semester I 2025, yang baru mencapai Rp 1.407,1 triliun atau 38,9 persen terhadap pagu APBN 2025.
Realisasi ini tumbuh 0,6 persen apabila dibandingkan dengan realisasi belanja negara pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Realisasi belanja yang lambat ini, menurutnya, ikut andil membuat pertumbuhan ekonomi pada paruh pertama tahun ini tidak optimal, yaitu hanya sebesar 4,99 persen. "(Realisasi belanja rendah) itu nggak tahu salahnya di mana, efisiensi apa bukan. Tapi yang jelas itu memberi dampak negatif ke perekonomian karena pertumbuhannya lambat dari situ (belanja negara)," ucapnya.
Sejumlah ekonom menilai pemerintah tidak cukup hanya menyadari persoalan, tetapi perlu segera bertindak agar APBN benar-benar menjadi motor pemulihan ekonomi.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M.
Rizal Taufikurahman menilai, realisasi belanja yang rendah menunjukkan masalah klasik, yakni eksekusi APBN yang lambat, birokratis, dan tidak responsif terhadap kondisi ekonomi.
Ruang fiskal yang seharusnya bisa berperan sebagai penopang daya beli justru tidak optimal di saat masyarakat kelas menengah bawah mengalami tekanan akibat maraknya PHK.
Jika tren belanja kembali tertahan di paruh kedua, ini dapat menjadi kesalahan strategis pemerintah karena risiko pelemahan konsumsi rumah tangga bisa semakin dalam dan memperlambat pemulihan ekonomi. "Maka di semester II, pemerintah memang tidak cukup hanya mengandalkan business as usual. Perlu intervensi fiskal yang agresif sekaligus terukur dengan kombinasi tiga jalur," ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (10/9/2025).
Untuk itu, pemerintah perlu mengambil langkah intervensi fiskal yang agresif namun terukur, dengan tiga jalur utama, yaitu mempercepat belanja produktif berbasis padat karya, memperkuat bantuan sosial (bansos) yang lebih tepat sasaran, serta memberikan insentif konsumsi rumah tangga seperti subsidi listrik, transportasi, dan kupon pangan.
Namun, Rizal mengingatkan agar program pemerintah tidak jatuh pada pola tambal sulam jangka pendek. "Program yang didorong di Semester II harus menghasilkan multiplier effect berkelanjutan, sehingga masyarakat tidak hanya diberi bantalan sementara, melainkan juga pintu masuk ke peningkatan produktivitas dan penciptaan lapangan kerja baru," ungkapnya.
Dengan kata lain, dengan tekanan PHK yang meningkat, harga pangan yang tinggi, serta konsumsi rumah tangga yang melemah, ujian pertama bagi Menkeu Purbaya adalah membuktikan bahwa APBN benar-benar hadir sebagai motor pemulihan ekonomi rakyat.