JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Riset Iklim dan Cuaca Ekstrem Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, mengungkapkan lima faktor gabungan menyebabkan hujan ekstrem yang memicu banjir besar seperti di Bali.
Faktor pertama, pembentukan vorteks di Samudra Hindia yang saat ini berkembang menjadi bibit siklon tropis 93S. Erma menjelaskan, dinamika vorteks tersebut merupakan penyebab utama lantaran pembentukannya dimulai sejak awal September.
"Namun penguatan dan pergerakan yang semakin mendekat ke Sumatera dan Jawa baru dimulai sejak 10 September, dan meskipun kini telah semakin menjauh dan melemah, namun diprediksi siklonik vorteks di Samudra Hindia dapat terbentuk kembali," ujar Erma saat dihubungi, Minggu (14/9/2025).
Baca juga: BNPB: 7 Wilayah di Bali Terdampak Banjir dan Longsor
Selanjutnya, hujan ekstrem disebabkan kondisi suhu permukaan laut Samudra Hindia dan selatan Jawa yang memanas hingga 3 derajat celcius. Hal ini membuat sistem tekanan rendah terbentuk di selatan Indonesia, membentang dari Sumatera bagian Selatan hingga Nusa Tenggara Barat.
"Ketiga, pemanasan suhu permukaan laut di Samudra Hindia juga didukung oleh fenomena Dipoles Mode negatif dan semakin menguat sejak awal September 2025 hingga mencapai minus 1,27 derajat celcius," tutur Erma.
Lalu, aktivitas gelombang Madden Julian Oscillation (MJO) yang sedang aktif di Samudra Hindia turut memberikan dukungan bagi intensifikasi awan-awan konvektif berklaster di wilayah yang sama dengan badai tropis berada.
Kondisi itu memperkuat badai tropis dalam hal kekuatan penjalaran dari barat ke timur serta menyuplai klaster awan dari Samudra Hindia menuju Sumatera dan Jawa.
Terakhir, gelombang Rossby yang kini sedang aktif dan kuat berada di sekitar Jawa Timur, Bali, Lombok dan sekitarnya. Erma menyebut, pertemuan antara MJO dengan Rossby berada di area yang membentang dari 105–120 bujur timur yakni dari Lampung sampai Nusa Tenggara.
"Inilah yang menyebabkan intensitas hujan bisa mengalami lonjakan tiba-tiba atau ekstrem, karena dipicu oleh pertemuan atau interaksi antara gelombang MJO dan Rossby," papar Erma.
"Meeting point dua gelombang tersebut juga bisa berpindah-pindah secara acak dengan dinamis," imbuh dia.
Baca juga: Banjir Makin Intens, PBB: Perlu Peringatan Dini Lebih Cepat dan Merata
Banjir di Bali turut diperparah dengan perubahan iklim yang ditandai wet get wetter atau kemarau basah.
"Sebagian besar di Indonesia bagian selatan akan alami kemarau yang bersifat lebih basah, dan hujan ekstrem yang lebih sering terjadi sepanjang tahun," jelas dia.
Erma mewanti-wanti, kekeringan mengancam pada wilayah yang selama ini dikenal kering. Dia meminta masyarakat maupun pemerintah terus memantau hujan dari menit ke menit melalui data radar cuaca BMKG, guna memitigasi banjir.
"Selain itu juga penting untuk memantau selalu secara real time data hujan yang terekam oleh alat ukur cuaca yang tersebar di berbagai wilayah yang bisa diakses terbuka oleh publik yaitu jaringan pemantau hujan dari personal weather station," terang Erma.
Adapun hujan deras mengguyur Bali sejak Selasa (9/9/2025) malam hingga Rabu (10/9/2025) pagi mengakibatkan beberapa sungai meluap dan sistem drainase tak mampu menampung air.
Akibatnya, banjir besar melanda tujuh kabupaten/kota di Bali lalu merendam ratusan rumah, pasar tradisional, jalan utama, hingga menyebabkan bangunan roboh.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 18 orang meninggal, dengan lima orang lainnya masih dalam pencarian.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.