MALANG, KOMPAS.com - Di tengah derasnya arus digital, ketika banyak orang lebih memilih gawai ketimbang buku cetak, hadir sosok Rega Rachmad Fauzie Ardiansyah.
Pustakawan generasi milenial ini percaya bahwa buku mempunyai cara istimewa menyentuh hati pembacanya.
Ia tidak sekadar mencintai buku, tetapi juga berusaha menghadirkan ruang yang menghidupkan literasi.
Dari kegelisahan dan ketidakpuasan terhadap perpustakaan yang ada di kota, lahirlah Perpustakaan Ejawantah, sebuah ruang sederhana dengan koleksi buku yang disusun rapi dan dikelola seorang diri.
Baca juga: Cerita Heroik Pustakawan Pamekasan di Tengah Wabah Covid-19: Ibarat Dokter Layani Pasien
“Saya menyebutnya perpustakaan karena sebenarnya syarat disebut perpustakaan salah satunya minimal koleksinya 1.000 buku dan disini sudah 1.100,” kata pustakawan asal Malang kepada Kompas.com.
Dari rasa bosan menjadi sebuah gerakan
Semua berawal dari rasa bosan. Ia kecewa pada perpustakaan besar di kotanya yang menurutnya hanya berdiri megah, tetapi kosong dari program literasi.
“Awalnya karena bosan, yang kedua saya tidak puas dengan perpustakaan di Kota Malang."
"Meskipun tempatnya besar tapi koleksinya tidak up to date, tidak ada program literasi seperti di komunitas atau gerakan yang lain jadi kaya gaji buta saja,” ujar pria yang biasa disapa Rega itu.
Baca juga: Pustakawan Perpusda Sidoarjo Dorong Pengelolaan Perpustakaan di Sekolah dan Desa
Berbekal ilmu dari bangku kuliah di Universitas Terbuka jurusan Ilmu Perpustakaan, ia memutuskan bergerak.
Perpustakaan Ejawantah lahir sebagai wujud nyata cita-citanya, sekaligus menjadi bahan penelitian untuk tugas akhirnya yang berfokus pada tingkat kepuasan pengunjung.
Ia ingin berbeda dari pustakawan pada umumnya. Ia tidak hanya mencatat peminjaman atau mengatur katalog, melainkan juga menemani pembaca dalam perjalanan literasi.
“Mungkin yang membedakan saya di perpus sendiri dengan perpus lain dari pengalaman membaca."
"Jadi setelah teman-teman membaca buku saya tanyain bagaimana isinya, perasaannya, apa yang bisa diambil dari buku yang selesai dibaca itu. Jadi kalau di perpus biasa tidak mungkin kan ditanyain,” tutur Rega.
Sebab baginya, buku bukan benda mati, melainkan jembatan menuju percakapan.