KOMPAS.com - Berdasarkan Perjanjian Paris, setiap negara diharapkan untuk melakukan "bagian yang adil" dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
Namun tindakan iklim yang dilakukan saat ini masih kurang, dan kita sama sekali belum mendekati janji yang dibuat untuk membatasi pemanasan global.
Selain itu juga penelitian baru menyatakan bahwa cara kita mengukur "bagian yang adil" tersebut memiliki kelemahan serius. Hal tersebut membuat para pencemar besar bisa terhindar dari tanggung jawab.
Penelitian baru ini berpendapat bahwa kita telah menggunakan metode yang bias, yang "memberi keuntungan pada penghasil emisi tinggi sambil merugikan pihak-pihak yang paling rentan."
Para penulis mengatakan sudah waktunya untuk tidak lagi membiarkan negara-negara kuat mengubah aturan seenaknya.
Baca juga: Demi Target Iklim Global, SBTi Luncurkan Standar Net Zero untuk Sektor Energi Listrik
Melansir Earth, Kamis (11/9/2025), sistem yang ada sekarang untuk mengukur upaya iklim negara hanya berfokus pada tingkat emisi saat ini, bukan pada konteks yang lebih menyeluruh.
Artinya, sistem tersebut mengabaikan polusi yang telah terjadi selama puluhan, atau bahkan ratusan tahun, yang berasal dari negara-negara kaya.
Sistem ini juga secara tidak langsung membiarkan emisi meningkat sebelum adanya tindakan yang diambil.
Akhirnya, hal itu menciptakan target yang terus berubah. Jika suatu negara berpolusi lebih banyak hari ini lalu baru mulai menguranginya nanti, sistem tetap bisa menyebutnya "ambisius". Padahal, itu bukan ambisi, melainkan penundaan.
Sebaliknya, para peneliti mengatakan bahwa kita harus meminta pertanggungjawaban negara-negara saat ini dengan menggunakan metode yang didasarkan pada emisi historis dan kemampuan finansial masing-masing negara.
Baca juga: Mobil Listrik Hasilkan Emisi 73 Persen Lebih Rendah, Bantu Capai Target Iklim
Dengan begitu, aturan main akan diubah. Negara-negara yang terlalu lama menunda untuk memulai pengurangan emisi tidak bisa lagi bersantai.
Tim di balik penelitian ini, yang berbasis di Universitas Utrecht dan dipimpin oleh Yann Robiou du Pont, mengusulkan untuk menghapus keuntungan bagi mereka yang tidak bertindak. Caranya adalah dengan mengubah metode perhitungan "bagian yang adil".
Ini bukan sekadar perubahan teknis, tetapi bisa mengubah cara negosiasi iklim internasional dinilai dan siapa yang dianggap sudah melakukan upaya yang cukup.
Ini bukanlah ide baru bahwa negara-negara kaya seharusnya berbuat lebih.
Baik kelompok keadilan iklim maupun para peneliti sudah menyampaikan hal ini selama puluhan tahun. Akan tetapi, studi ini memberikan dukungan kuat pada argumen tersebut melalui data yang valid.
Pesan utamanya jelas yakni negara-negara yang lebih makmur dan memiliki jejak karbon paling besar perlu melakukan pengurangan emisi yang lebih signifikan dan menyumbang lebih banyak untuk pendanaan iklim. Ini termasuk mendanai energi terbarukan, ketahanan iklim, dan pengurangan emisi di negara-negara berkembang.
Tanpa adanya komitmen yang adil dan dukungan finansial dari negara-negara yang paling bertanggung jawab dan memiliki kemampuan, upaya global yang efektif akan terhambat.
Studi dipublikasikan di jurnal Nature Communications.
Baca juga: Studi: Mayoritas Pabrikan Mobil Uni Eropa Siap Penuhi Target Emisi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

/data/photo/2025/09/16/68c9795719330.jpg)
/data/photo/2025/09/16/68c9804e488b3.jpg)
/data/photo/2025/09/16/68c9793a86ada.jpg)
/data/photo/2025/09/16/68c935926e939.jpeg)
/data/photo/2025/09/16/68c96f9494717.jpeg)
/data/photo/2025/09/16/68c93244d11aa.jpeg)
/data/photo/2025/09/16/68c97e6952a5b.jpg)
/data/photo/2025/09/16/68c967bc2bd89.jpeg)
/data/photo/2025/09/16/68c94af5667e6.jpg)
/data/photo/2025/09/16/68c9728147900.jpg)
/data/photo/2025/08/09/6896db3cb13f4.jpeg)
/data/photo/2024/10/12/670a261d7adc2.jpg)
/data/photo/2025/09/16/68c97671251b5.jpg)
/data/photo/2025/09/16/68c967bba987a.jpg)
/data/photo/2025/09/16/68c940e86b2b6.jpg)
/data/photo/2024/06/27/667cf2100884d.jpg)
/data/photo/2025/09/16/68c96de2991a4.jpg)
/data/photo/2025/02/25/67bd458cacf90.jpg)
/data/photo/2024/09/27/66f65482dd146.jpg)
/data/photo/2025/08/22/68a7edad4c848.jpeg)












/data/photo/2025/09/11/68c2b5c18b236.png)
/data/photo/2023/02/03/63dcbe37588c4.jpeg)
/data/photo/2025/09/14/68c6d9fb5b64d.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/bola/watermark-color-landscape-new.png,1125,20,0)/kly-media-production/medias/5341950/original/092878000_1757341758-Timnas_Indonesia_vs_Lebanon_-03.jpg)
/data/photo/2025/09/09/68c0463fce3a4.jpeg)
/data/photo/2025/02/07/67a5df4a60225.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/bola/watermark-color-landscape-new.png,1125,20,0)/kly-media-production/medias/5339676/original/014879200_1757081736-20250904AA_Timnas_Indonesia_vs_China_Taipei-07.JPG)
/data/photo/2025/09/08/68bed481177bf.jpg)
/data/photo/2025/09/09/68c059a861709.jpg)
/data/photo/2025/09/09/68bfb1b0ec89a.jpeg)
/data/photo/2025/09/09/68c027758a8e3.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5342701/original/013936300_1757398952-ATK_Bolanet_BRI_SUPER_LEAGUE_JADWAL__5_.jpg)
/data/photo/2025/09/09/68c0493eaad6d.jpg)
/data/photo/2025/07/29/6888a7ac1b365.jpg)
/data/photo/2025/09/09/68bfedd547ad9.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/bola/watermark-color-landscape-new.png,1125,20,0)/kly-media-production/medias/5341963/original/050096500_1757343075-Timnas_Indonesia_vs_Lebanon_-16.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5251785/original/019954000_1749807617-Timnas_Indonesia_-_Emil_Audero__Maarten_Paes__Mees_Hilgers__Jay_Idzes__Rizki_Ridho__Justin_Hubner__Calvin_Verdonk__Kevin_Diks_copy.jpg)