BAYANGKAN keluarga besar bernama “Indonesia”. Semua anggota keluarga duduk di meja makan, menatap dompet yang sama.
Uang di dalam dompet itu adalah milik bersama, hasil kerja keras, pajak, dan sumber daya negeri ini.
Selama bertahun-tahun, dompet itu dipegang oleh “ibu” yang sangat hemat, Sri Mulyani Indrawati. Setiap rupiah dicatat rapi, setiap pengeluaran ditimbang matang.
Bahkan, ibu berhasil menyisihkan tabungan darurat Rp 457,5 triliun, ibarat celengan besar di lemari yang siap dibuka kapan saja bila keadaan mendesak. Aman, tenang, meski kadang terasa membosankan karena uang jarang keluar.
Beberapa bulan kemudian, dompet itu berpindah tangan ke “bapak” baru, Purbaya Yudhi Sadewa.
Gayanya berbeda. Ia bilang, “Untuk apa uang hanya ditumpuk? Lebih baik dipakai, diputar, biar rumah tangga ini tumbuh lebih cepat”.
Dengan restu kepala keluarga, Presiden Prabowo Subianto, Rp 200 triliun pun dialirkan dari Bank Indonesia ke perbankan. Uang harus mengalir, tidak boleh tidur.
Baca juga: Dampak Guyuran Rp 200 Triliun Dana Pemerintah ke Bank terhadap Perekonomian
Dari sini kita melihat kontras: dompet ibu yang hemat, penuh kehati-hatian; beralih ke dompet bapak yang koboi, berani mengambil risiko.
Pertanyaan kita sebagai “anak-anak” dalam keluarga besar Indonesia sederhana: apakah dua gaya ini bisa saling melengkapi, atau justru membuat rumah tangga goyah?
Dompet bapak: Gas untuk pertumbuhan
Seorang teman saya yang membuka warung kopi pernah berkata, “Kalau uang cuma ditaruh di tabungan, ya habis kena inflasi. Lebih baik dipakai beli mesin kopi, omzet bisa naik”. Filosofi ini mirip dengan semangat bapak Purbaya.
Dalam teori manajemen keuangan, uang yang mengendap tanpa bergerak disebut idle cash. Nilainya terus terkikis.
Maka logis bila dana Rp 200 triliun itu dialirkan ke perbankan. Likuiditas longgar diharapkan membuat bunga kredit turun, mendorong bank lebih berani menyalurkan pinjaman, dan dunia usaha dapat oksigen baru.
Masalahnya, tidak semua kredit bank mengalir ke hal produktif. Banyak yang justru tersedot ke konsumsi: cicilan mobil, kartu kredit, belanja daring.
Kalau uang hanya dipakai membeli barang konsumsi impor, pertumbuhan rapuh. Gas sudah ditekan, tapi kalau arah setir salah, perjalanan bisa tergelincir.