SUASANA jalanan di Jakarta akhir Agustus 2025, masih terasa panas. Ribuan mahasiswa dan anak muda tumpah ruah menyuarakan “17+8 Tuntutan Rakyat”, 17 tuntutan jangka pendek dan 8 reformasi jangka panjang.
Spanduk warna-warni, mural jalanan, hingga teriakan orasi menggema: reformasi parlemen, penarikan militer dari ranah sipil, transparansi anggaran, hingga perlindungan kebebasan sipil.
Di era media sosial, gema protes ini tak hanya terdengar di pusat ibu kota, tetapi menjalar ke daerah hingga memakan korban jiwa. Setidaknya ada 10 korban tewas selama demonstrasi berlangsung.
Tidak lama berselang, 3.500 kilometer dari Jakarta, di Kathmandu, Nepal, anak-anak muda Gen Z juga turun ke jalan.
Pemicu mereka berbeda: pemerintah menutup 26 platform media sosial seperti Facebook, Instagram, dan YouTube.
Namun semangatnya sama: melawan kebijakan negara yang menutup ruang kebebasan. Protes itu berakhir tragis, sedikitnya 19 orang tewas ditembak polisi, ratusan luka-luka, dan Perdana Menteri KP Sharma Oli akhirnya lengser.
Baca juga: Rakyat Miskin, Negara Kaya, Uangnya di Mana?
Kita melihat benang merah yang sama: generasi muda bangkit sebagai penantang status quo, sementara negara tampak gagap merespons aspirasi yang makin berani di tengah situasi hidup yang semakin sulit.
Dua kisah, satu narasi
Jika mahasiswa Indonesia menyoal ketidakadilan sosial, korupsi, dan “politik dagang sapi” yang melahirkan tuntutan 17+8, maka rakyat Nepal menghadapi persoalan kebebasan sipil yang lebih elementer: hak untuk bersuara di ruang digital.
Namun, substansinya serupa: kekecewaan pada institusi negara yang dinilai eksklusif dan tidak berpihak pada rakyat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 2024 mencatat, 55 persen penduduk Indonesia adalah generasi Milenial dan Z. Artinya, lebih dari separuh suara demokrasi kini berada di tangan generasi muda.
Di Nepal, data World Bank (2023) menunjukkan sekitar 60 persen pengguna internet berusia 15–34 tahun. Jadi ketika ruang kebebasan mereka dibatasi, wajar jika ledakan sosial tak terhindarkan.
Indonesia maupun Nepal kini menghadapi kenyataan bahwa generasi digital terbiasa menyampaikan aspirasi secara langsung, cepat, dan masif. Menutup ruang partisipasi hanya mempercepat perlawanan dan kehancuran.
Daron Acemoglu dan James Robinson dalam bukunya Why Nations Fail mengingatkan: “Negara gagal bukan karena miskin sumber daya, melainkan karena memiliki institusi politik dan ekonomi yang eksklusif.”
Baca juga: Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
Institusi eksklusif adalah ketika kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir elite, akses publik dipersempit, dan kebijakan lebih melanggengkan kekuasaan daripada menyejahterakan rakyat.
Indonesia dan Nepal hari ini adalah potret nyata dari tesis itu.