“MESKIPUN tantangan tuntutan rakyat bisa mereda bila pertumbuhan ekonomi menyentuh 6–7 persen, fondasi fiskal yang kuat tetap diperlukan.” Demikian pernyataan Purbaya Yudhi Sadewa setelah dilantik sebagai Menteri Keuangan.
Ucapannya menyoroti pentingnya ketahanan fiskal di tengah harapan publik pada janji pertumbuhan yang lebih tinggi.
Namun, ada realitas yang sering luput dari sorotan: sebagian besar aktivitas ekonomi rakyat tidak tercatat dalam sistem resmi negara.
Fenomena inilah yang dikenal sebagai grey economy. Jika begitu besar porsinya, bukankah pertumbuhan ekonomi yang kita lihat di angka resmi mungkin hanyalah “puncak gunung es”?
Menyingkap wajah ekonomi abu-abu
Istilah grey economy merujuk pada kegiatan ekonomi yang secara substansi legal, tetapi dijalankan di luar kerangka formal.
Teori klasik tentang ekonomi bayangan dikemukakan oleh Friedrich Schneider, ekonom asal Austria, yang memperkirakan bahwa di banyak negara berkembang, porsi ekonomi abu-abu dapat mencapai 30–40 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Baca juga: Selamat Tinggal Sri Mulyani, Pesan untuk Menkeu Purbaya
Aktivitas ini tidak selalu ilegal, berbeda dengan black economy yang melibatkan perdagangan narkoba atau korupsi, tetapi keberadaannya tidak tercatat, tidak dilaporkan, dan tidak membayar pajak.
Data di Indonesia memperkuat gambaran ini. Hashim Djojohadikusumo, seorang pengusaha sekaligus ekonom, memperkirakan sekitar 26 persen ekonomi Indonesia tidak tercatat dalam statistik BPS.
Jika PDB formal kita sekitar Rp 22.000 triliun, maka potensi ekonomi “bayangan” bisa mencapai Rp 28.000 triliun.
Artinya, ada potensi penerimaan pajak ratusan triliun rupiah yang hilang dari jangkauan negara.
Sementara itu, BPS melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 sebesar 4,87 persen, tetapi angka ini hanya mencerminkan kegiatan formal.
Apakah kita sedang melihat realitas ekonomi yang jauh lebih besar, tapi tersembunyi?
Sektor informal yang menjadi bagian utama grey economy memiliki sisi ganda. Dari perspektif teori dual economy yang diperkenalkan oleh Arthur Lewis, ekonomi modern di negara berkembang sering terbagi menjadi dua: sektor formal berproduktivitas tinggi dan sektor informal berproduktivitas rendah.
Keberadaan grey economy bisa dilihat sebagai katup pengaman sosial—menyerap tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor formal.
Pedagang kaki lima, tukang ojek, pekerja rumahan, hingga UMKM tanpa izin usaha menjadi penyedia mata pencaharian penting bagi jutaan orang.