PADA Juni 2025 lalu, harapan sempat mekar. Lebih dari 60.000 suara rakyat yang disatukan oleh tagar #SaveRajaAmpat, berhasil mencapai sesuatu yang cukup terasa mustahil, yakni memaksa pemerintah untuk menghentikan proses perizinan tambang nikel baru di jantung surga terakhir dunia.
Untuk sesaat, kita merasakan euforia langka, bukti bahwa suara kolektif masih memiliki daya paksa. Namun di negeri ini, harapan seringkali hanya seumur jagung.
Awal September 2025, harapan itu dipadamkan. Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), secara resmi menegaskan bahwa PT Gag Nikel—pemain lama yang izinnya tak pernah dicabut—dapat terus beroperasi.
Keputusan untuk tidak menghentikan operasi ini didasarkan pada justifikasi teknokratis bahwa perusahaan tersebut telah mendapatkan penghargaan PROPER Hijau dan dianggap telah menjalankan praktik pertambangan yang baik.
Penghargaan ini menjadi tameng birokratis untuk melegitimasi operasi yang secara esensial berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Arogansi keputusan yang mengabaikan suara publik, sekaligus berpotensi melanggar hukum ini tentu tidak terjadi di ruang hampa. Ia dimuluskan oleh taktik politik yang usang, tapi efektif, yakni delegitimasi para pengkritiknya.
Baca juga: Ada Apa dengan Dito Ariotedjo?
Setelah isu mencuat dalam diskusi publik, muncul istilah-istilah peyoratif seperti ‘wahabi lingkungan’. Narasi berbau pseudo-religious baru ini sengaja dibangun untuk membingkai kritik sebagai fundamentalisme kaku yang anti-pembangunan.
Padahal jika kita jujur, kegelisahan publik termasuk dari para aktivis lingkungan dengan suara yang semakin kencang bukanlah tindakan radikal, melainkan respons wajar terhadap proses destruktif yang selama ini sudah mengarah pada tindakan yang disebut ekosida.
Menerjemahkan praktik ekosida di Indonesia
Ekosida bukanlah sekadar istilah aktivis yang dilebih-lebihkan. Di Indonesia, diskursus ini semakin menguat untuk menempatkannya sebagai kejahatan luar biasa.
Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dalam risetnya bahkan merumuskan ekosida sebagai pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) karena sifatnya yang terstruktur dan sistematis.
Dengan menggunakan tiga indikator kunci dari PBHI, kita dapat membedah bagaimana serangkaian kebijakan lingkungan di Indonesia sejatinya telah mengarah pada realitas praktik ekosida.
Indikator pertama adalah adanya pola kerja sistematis yang dihegemoni elite politik dan bisnis. Kita dapat melihatnya dalam kasus Raja Ampat, di mana kolaborasi negara-korporasi memuluskan izin tambang dengan mengabaikan 60.000 suara publik.
Pola yang sama terjadi di Rempang, di mana Proyek Strategis Nasional menjadi justifikasi untuk menyingkirkan masyarakat adat demi kepentingan investasi.
Kondisi ini menunjukkan pola di mana masyarakat yang terdampak tidak menjadi pemangku kepentingan utama.
Indikator kedua adalah praktik penggunaan keamanan berlebih untuk menciptakan impunitas hukum. Pola ini termanifestasi di Wadas dan Rempang.