Ekspansi Peran TNI di Era Prabowo Dinilai Bukan Dwifungsi, tapi Konsolidasi Kekuasaan

2 hours ago 3

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti politik dari Australian National University (ANU), Marcus Mietzner, menilai ekspansi peran TNI di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tidak bisa disamakan dengan konsep dwifungsi ABRI pada era Orde Baru.

Menurutnya, langkah Prabowo lebih tepat dipahami sebagai bagian dari upaya konsolidasi kekuasaan politik.

“Menurut saya yang lebih canggih, ini suatu konsep yang baru itu disesuaikan dengan zaman abad ke-21, di mana TNI bukan lagi ditempatkan paling depan seperti dwifungsi, tapi diberikan peran untuk memperkuat peran seorang Presiden yang punya agenda untuk konsolidasi kekuasaan, itu kira-kira," kata Marcus dalam peluncuran Jurnal Prisma edisi khusus “Hubungan Sipil-Militer di Tengah Krisis Demokrasi”, Selasa (16/9/2025).

Ia menjelaskan, dwifungsi yang lahir pada 1966 menempatkan ABRI sebagai aktor utama pemerintahan.

Baca juga: Eks Jenderal Ingatkan TNI untuk Selalu Kembali ke Konstitusi

Pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an, menurut Marcus, pemerintah pada dasarnya dijalankan oleh ABRI secara kelembagaan, bukan hanya sekadar memberi posisi atau peran tertentu.

Namun, situasi tersebut berubah sejak akhir 1970-an ketika Soeharto mulai memusatkan kekuasaan pada dirinya sendiri sebagai otokrat personal. Bahkan, menjelang akhir pemerintahannya di 1990-an, Soeharto sempat membatasi ruang gerak ABRI.

“Nah, itu (dwifungsi ABRI) bukan tujuannya Prabowo saat ini. Dia akan pilih-pilih beberapa orang dari militer yang dia percaya dan dia mau memberikan terang dalam pemerintahannya. Tapi dia tidak punya kepentingan untuk menghidupkan kembali dwifungsi sebagai konsep seperti dipakaikan pada awal pemerintahan," jelas Marcus.

Meski demikian, ia mengingatkan ekspansi peran TNI di era Prabowo tetap berpotensi membahayakan demokrasi dan profesionalisme militer.

Baca juga: Al Araf Sebut Kemunduran Reformasi TNI Dimulai Sejak Era Jokowi

Menurutnya, praktik politik yang dijalankan saat ini lebih modern dan sesuai dengan pola rezim abad ke-21, yakni menempatkan militer sebagai instrumen untuk memperkuat posisi presiden.

“Nah itu yang sebenarnya intinya dwifungsi dan yang saya maksudkan dengan perbandingan dengan saat ini, kita jangan berfokus terlalu obsesif terhadap semacam agenda pembangkitan kembali dwifungsi, itu terlalu kasar begitu," pungkas dia.

Catatan Kompas.com, pembicaraan soal bangkitnya kembali dwifungsi ABRI muncul pada Maret 2025 di mana DPR dan Pemerintah hendak mengesahkan revisi Undang-Undang (RUU) TNI.

RUU yang kemudian disahkan menjadi UU itu, salah satu poinnya adalah perluasan penempatan jabatan sipil bagi militer aktif.

Poin ini tercantum dalam draf RUU TNI pasal 47. Lewat poin itu, prajurit TNI aktif kini dapat menduduki jabatan sipil di 14 kementerian dan lembaga, naik dari 10 lembaga sebelumnya.

Keputusan ini menuai kekhawatiran karena berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini

Read Entire Article
Kunjungan Pemerintah | Dewasa | | |