KOMPAS.com - Pemandangan mal yang ramai kini tak lagi jadi jaminan omzet melimpah. Fenomena berbeda sedang terjadi di Indonesia: orang-orang tetap datang ke mal, tapi lebih banyak untuk nongkrong dan bersosialisasi daripada berbelanja.
Laporan terbaru Knight Frank Indonesia menyebutkan bahwa daya beli kelas menengah menunjukkan indikasi pelemahan, dan hal ini tercermin dari banyaknya toko fashion, lifestyle, dan home appliance yang hengkang dari mal.
Baca juga: 8 Ritel Asing Ini Resmi Masuk Indonesia, Siap Ramaikan Mal di Jakarta
Menurut Country Head Knight Frank Indonesia, Willson Kalip, pola konsumsi masyarakat telah bergeser.
Sebagian besar transaksi kini terjadi di e-commerce, mengubah fungsi ruang ritel secara drastis.
Mal tidak lagi sekadar tempat belanja, melainkan menjadi "ruang hidup" yang multifungsi, tempat orang berinteraksi, mencari hiburan, berolahraga, hingga menikmati kuliner.
Ini menjelaskan mengapa gerai makanan dan minuman (FnB) terus tumbuh dengan kuat.
Jenama seperti Chagee, 88 Seoul, dan 4Fingers Crispy Chicken justru melakukan ekspansi, membuktikan bahwa kuliner menjadi sektor yang paling tangguh di tengah pelemahan daya beli.
Si Kaya Tetap Belanja, Mal Kelas Menengah Berjuang
Performa ritel kini terbagi dua. Di satu sisi, mal premium tetap menunjukkan kinerja kokoh.
Toko-toko mewah dan jenama global justru berdatangan, didominasi oleh sektor fashion, FnB, lifestyle, dan kecantikan.
Baca juga: Tahun Depan, 3 Mal Baru Siap Ubah Peta Persaingan Jabodetabek
"Ini mencerminkan bahwa pengunjung di segmen ini memang datang dengan niat pasti untuk berbelanja, bukan hanya sekadar jalan-jalan," usar Willson, Kamis (11/9/2025).
Di sisi lain, mal kelas menengah ke bawah berjuang keras. Untuk bertahan, mereka tak hanya mengandalkan strategi omni channel marketing, tetapi juga mengubah ruang-ruang terbuka menjadi area pameran, event, atau tempat hobi untuk menarik kunjungan.
Tantangan Baru di Tengah Ketidakpastian
Kondisi ini diperparah dengan gejolak sosial yang terjadi belakangan ini. Demonstrasi yang marak memberikan dampak langsung pada operasional dan kunjungan ritel, terutama di area-area pusat aksi. Ke depannya, pengelola mal dituntut lebih inovatif dan adaptif.
"Pola konsumsi konsumen saat ini cukup menantang, sehingga pengelola ritel perlu terus melakukan inovasi," ungkap Willson.
Baca juga: Mal-mal Favorit Ajak Masyarakat Jaga Jakarta, Ini Daftarnya
Salah satu inovasi yang disarankan adalah mengadopsi ruang untuk mengakomodasi gaya hidup sehat, seperti fasilitas padel tennis atau pickleball.
Hal ini menunjukkan bahwa masa depan ritel tidak lagi soal barang, melainkan tentang pengalaman dan interaksi yang tidak bisa didapatkan di layar smartphone.
"Intinya, keramaian hanya bermakna jika berubah menjadi transaksi nyata, dan itulah tantangan terbesar bagi mal di era pasca-pandemi ini," tuntasnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini