KOMPAS.com - Bagi sebagian orang, pernikahan masih dibayangkan sebagai fase hidup yang penuh kebahagiaan; hidup bersama pasangan, membangun rumah tangga, dan menemani satu sama lain hingga akhir hayat. Namun realitas di lapangan sering kali jauh lebih kompleks.
Kurangnya kesiapan mental, regulasi emosi yang belum matang, hingga masalah finansial dapat membuka jalan pada berbagai persoalan serius dalam rumah tangga: perselingkuhan, KDRT, perceraian, bahkan tragedi yang lebih ekstrem.
Deretan faktor inilah yang melahirkan fenomena “marriage is scary”, ketika pernikahan justru dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan dan membuat sebagian orang ragu untuk melangkah ke pelaminan.
“Baik di level masyarakat perkotaan maupun pedesaan, menikah bukan sesuatu yang gampang,” ungkap sosiolog sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Dr. Mustaghfiroh Rahayu, M.A, saat dihubungi pada Jumat (12/9/2025).
Baca juga: Pernikahan Bukan Perlombaan, Kapan Waktu yang Tepat untuk Menikah? Ini Kata Psikolog
Pentingnya menyiapkan diri
Selama ini, banyak orang beranggapan bahwa kesiapan finansial adalah syarat utama untuk menikah. Padahal, persiapan mental dan pengelolaan emosi tak kalah penting. Tanpa itu, dua individu dengan latar belakang dan pola pikir berbeda akan sulit saling memahami dan berkompromi dalam kehidupan rumah tangga.
“Dulu, orang menikah itu pikirannya yang penting menghalalkan yang haram, yang penting menghindari zina. Enggak bisa lagi seperti itu,” kata Ayu, sapaan akrab Mustaghfiroh
Saat ini, sebagian besar masyarakat sudah lebih sadar bahwa menikah adalah tanggung jawab yang besar sehingga perlu mempersiapkan diri dengan baik.
Ketika mental, finansial, dan regulasi emosi, belum disiapkan dengan matang, maka komitmen jangka panjang untuk membangun rumah tangga yang baik tidak akan terwujud.
“Pernikahan yang asal-asalan itu kemudian menghasilkan sebuah generasi yang enggak sehat,” ucap Ayu.
Selain itu, anak juga bisa jadi korban karena mereka tumbuh dalam lingkungan keluarga yang kurang harmonis.
Baca juga: 6 Persiapan Pernikahan yang Wajib Diketahui Menurut Pakar
Dok. Freepik/Freepik Ilustrasi pasangan.
Fenomena “marriage is scary” bikin angka pernikahan menurun
Kementerian Agama (Kemenag) baru-baru ini mengungkapkan bahwa anggapan bahwa pernikahan menakutkan, membuat angka pernikahan menurun.
Direktur Jenderal Bimas Islam Kemenag Abu Rokhmad mengatakan, tren penurunan jumlah pernikahan sudah terjadi sejak tahun 2019.
Menurut pihaknya, pandangan seperti itu perlu diluruskan lantaran dapat menghambat lahirnya keluarga tangguh menuju Indonesia Emas 2045. Ditambah lagi, pernikahan tidak menakutkan jika dipersiapkan dengan baik.
“Ini tantangan bagi kita semua. Edukasi harus diberikan agar generasi muda memahami pernikahan secara benar,” kata Abu saat mewakili Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam Peringatan Milad ke-63 Wanita Islam di Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Berdasarkan catatan Kemenag, angka pernikahan turun dari 1.577.493 pada 2023, hingga 1.478.424 pada 2024.
Baca juga: Tren Pernikahan Minimalis dan Intimate Masih Jadi Favorit di 2025
Program strategis Kemenag
Menanggapi hal tersebut, Abu mengatakan bahwa pihaknya memperkuat program Bimbingan Perkawinan bagi Calon Pengantin (Bimwin).
Program tersebut membekali generasi muda dengan pengetahuan dan keterampilan hidup sebelum menikah. Materinya mencakup keterampilan komunikasi, pengelolaan keuangan keluarga, dan manajemen konflik.
“Dengan persiapan yang baik, perkawinan akan menjadi perjalanan menyenangkan, bukan menakutkan,” ujar dia.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini