DI KATHMANDU, ibu kota negara Nepal yang terletak di lembah Himalaya dan menjadi pusat politik sekaligus pendidikan tinggi itu, ribuan pelajar dan mahasiswa turun ke jalan pada September 2025, setelah pemerintah melarang operasional 26 platform media sosial.
Bagi para pejabat boomer, larangan tersebut hanyalah langkah administratif untuk menertibkan perusahaan asing agar tunduk pada regulasi lokal.
Namun, bagi generasi muda yang sejak kecil hidup dengan gawai, keputusan itu terasa seperti mencabut nadi kehidupan mereka.
Kemarahan sejatinya telah lama menumpuk: dari sindiran tajam Avishkar Raut, Pradhan Vidyarthi (semacam ketua OSIS) yang pidatonya “Jai Nepal” viral karena menyinggung korupsi dan pengangguran, hingga frustrasi terhadap perilaku pejabat yang dinilai nepotis dan menikmati privilese jauh dari realitas rakyat.
Baca juga: Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah
Ketika ruang digital ditutup, energi yang terpendam tumpah ke jalan. Unggahan di aplikasi pesan berubah menjadi mobilisasi massal, barikade didirikan, parlemen digeruduk.
Polisi merespons dengan gas air mata, peluru karet, bahkan tembakan peluru tajam. Setelah banyak jatuh korban, perdana menteri akhirnya terpaksa mundur.
Namun, bagi siapa pun yang memahami karakter Gen Z, peristiwa sebagaimana yang terjadi di negara yang juga dijuluki dengan Negara Atap Langit tersebut adalah konsekuensi logis dari benturan dua dunia.
Generasi digital yang terbiasa hidup dalam arus informasi melawan generasi analog yang masih berupaya mempertahankan kendali atas satu-satunya saluran kebenaran.
Hanya beberapa pekan sebelumnya, di Jakarta, mahasiswa dan publik muda lebih dulu menunjukkan kekuatan kolektif mereka ketika mencuat kabar bahwa anggota DPR menerima tunjangan rumah puluhan juta rupiah per bulan, suatu jumlah yang kontras dengan gaji minimum dan biaya hidup masyarakat.
Narasi kritik berkembang di media sosial melalui infografis yang membandingkan tunjangan anggota parlemen dengan upah buruh, video satir tentang gaya hidup politisi, serta tagar yang menyerukan peninjauan fasilitas tersebut.
Dari ruang digital, perhatian publik bergeser ke jalanan. Aksi mahasiswa berlangsung, sejumlah bentrokan dengan aparat pun terjadi, ratusan orang diamankan (bahkan kabarnya hingga kini), dan pada akhirnya pemerintah memutuskan untuk mencabut tunjangan sekaligus melakukan perombakan kabinet.
Baca juga: Reshuffle Kabinet Basa-basi Politik
Para pejabat ‘boomer’ menyebut aksi itu emosional dan tidak realistis. Namun, Gen Z membalas dengan data, visualisasi, dan meme yang lebih cepat menyebar ketimbang penjelasan resmi versi pemerintah.
Di Filipina, pertentangan Gen Z dengan pejabat boomer tercermin lewat gerakan Youth Against Kurakot (YAK!) yang diluncurkan pada 3?4 September 2025, sebagai reaksi terhadap dugaan penyalahgunaan dana proyek pengendalian banjir (flood control projects).
Aktivis muda, kebanyakan berasal dari kelompok mahasiswa progresif seperti Akbayan Youth dan Kabataan, mengorganisir unjuk rasa tanggap cepat di Balai Kota Pasig, kantor DPWH (Department of Public Works and Highways) di Manila dan Cebu, serta di kompleks parlemen di Quezon City.
Mereka melempar air keruh dan tomat busuk ke kantor pemerintah, menyemprotkan kata “magnanakaw” (perampok) dan “corrupt” di gerbang kantor perusahaan konstruksi yang terlibat, lalu menyebarkan foto dan video aksi itu secara viral lewat akun TikTok, grup pesan terenkripsi, dan platform media sosial lainnya.
Polisi merespons dengan pengerahan sekitar 2.000 personel di Manila dan langkah pengamanan yang diperketat di Cebu, meski laporan awal menyebutkan aksi tetap relatif damai.
Isu yang mereka angkat bukan hanya kegagalan proyek fisik, tetapi representasi simbolik bahwa “korupsi tuli” masih berlangsung di level pejabat tua yang sering tidak disentuh sistem hukum.
AFP/LOU BENOIST Petugas dari subdivisi Mobile Gendarmerie (GM) (belakang dari kiri) menyingkirkan blokade yang dibuat oleh para pengunjuk rasa di viaduk Cadix sebagai bagian dari demo Perancis bertajuk Block Everything di Caen, Perancis barat laut, Rabu (10/9/2025).
Di Perancis, pada September 2025, protes nasional bertajuk Bloquons tout atau Block Everything mengacaukan hari pertama perdana menteri baru.
Jalan raya, rel kereta, dan sekolah diblokade, tong sampah dibakar, dan barikade didirikan. Polisi mengerahkan 80.000 aparat, ratusan pengunjuk rasa ditangkap.
Banyak di antara peserta adalah pelajar dan mahasiswa, yang menyebut aksi itu sebagai “barricade pertama mereka”.
Mereka tidak hanya menolak pemotongan anggaran dan pensiun, tetapi juga melampiaskan frustrasi terhadap ketidaksetaraan ekonomi dan kegagalan elite dalam menghadapi krisis iklim.