Hormesis Sosial Pasca-1998: Krisis, Memori, dan Daya Tahan Demokrasi

2 hours ago 3

SEJARAH bangsa Indonesia adalah sejarah luka daya hidup yang tak pernah padam. Tahun 1998 menjadi salah satu tonggak paling menentukan dalam perjalanan republik ini, sebuah tahun yang dengan sendirinya menyimpan ambivalensi antara kehancuran dan kebangkitan.

Krisis yang meletus kala itu bukanlah krisis kecil atau sekadar guncangan ekonomi biasa, melainkan krisis multidimensi yang hampir meluluhlantakkan seluruh sendi kehidupan berbangsa.

Dari runtuhnya legitimasi politik Orde Baru yang telah berkuasa lebih dari tiga dekade, anjloknya ekonomi yang membuat rupiah terperosok ke titik nadir, konflik horizontal yang meledak di berbagai daerah dengan nuansa etnis maupun agama, hingga keputusasaan sosial yang menekan rakyat kecil yang antre beras dengan wajah muram.

Saat itu, Indonesia seperti berada di tepi jurang kehancuran. Namun, justru di situlah letak keanehan sejarah: bangsa ini alih-alih hancur, tapi justru menemukan energi untuk beradaptasi, menciptakan institusi baru, dan membuka jalan bagi demokratisasi, meskipun jalannya penuh paradoks dan retakan.

Dari titik itu muncul pertanyaan yang terus menghantui: bagaimana mungkin krisis yang begitu besar, yang di permukaan tampak mematikan, justru bisa memicu daya adaptasi yang menguntungkan?

Mengapa bangsa ini justru berhasil bertahan dan bahkan melahirkan sistem politik baru? Dan apakah daya tahan itu bersifat permanen atau hanya sementara tergantung pada ingatan kolektif yang mudah memudar?

Hormesis: Kerangka biologis memahami krisis sosial

Dalam dunia biologi, istilah hormesis memberikan gambaran. Hugo Schulz, seorang dokter Jerman pada akhir abad ke-19, meneliti efek etanol pada sel ragi.

Ia menemukan sesuatu yang paradoksal: dosis kecil justru merangsang pertumbuhan, sementara dosis besar menghentikan kehidupan.

Baca juga: Kemiskinan Karakter di Tengah Agenda Kesejahteraan Sosial

Edward J. Calabrese, seorang toksikolog kontemporer dari Amerika Serikat, memopulerkannya secara luas dalam toksikologi modern.

Ia menegaskan bahwa pola respons dosis-rendah yang memperkuat dan dosis-tinggi yang mematikan adalah prinsip umum dalam sistem biologis.

Dari dunia biologi inilah, logika dasarnya dapat ditarik ke ranah sosial dan politik: krisis adalah racun, tetapi dosis tertentu justru bisa menjadi vaksin.

Maka dalam perspektif sosial, hormesis menjelaskan bahwa krisis yang terlalu kecil hanya menimbulkan keluhan tanpa menghasilkan perbaikan. Krisis yang terlalu besar menghancurkan tanpa sisa.

Namun, krisis yang mencapai ambang tertentu dapat memicu inovasi, membuka ruang bagi koreksi besar-besaran, dan melahirkan adaptasi yang bertahan lama.

Pertanyaannya bagi Indonesia adalah apakah krisis 1998 bekerja sebagai dosis hormetik itu, sebagai racun yang menyakitkan, tetapi sekaligus vaksin yang memperkuat, atau justru melemahkan daya kolektif bangsa?

Untuk memahami ini, filsafat memberi kerangka tambahan. Georg Wilhelm Friedrich Hegel, filsuf Jerman yang hidup 1770–1831, memperkenalkan logika dialektika sejarah: setiap tesis berjumpa dengan antitesis, dan dari konflik keduanya lahirlah sintesis yang lebih tinggi.

Krisis dapat dibaca sebagai antitesis yang memaksa lahirnya sintesis baru.

Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman 1844–1900, menulis kalimat legendaris: apa yang tidak membunuhku, membuatku lebih kuat.

Kalimat ini adalah ungkapan filosofis dari logika hormesis: penderitaan terbatas menguatkan, penderitaan total menghancurkan.

John Dewey, filsuf Amerika Serikat 1859–1952, mengembangkan pragmatisme sosial yang menekankan bahwa masyarakat belajar dari krisis melalui trial and error; di mana demokrasi adalah eksperimen yang tak pernah selesai, sehingga hormesis sosial selaras dengan cara berpikirnya.

Karl Popper, filsuf sains Austria-Inggris 1902–1994, memperkenalkan falsifikasionisme: ilmu hanya bertahan bila terus diuji oleh kritik, bukan bila dilindungi dari tantangan.

Read Entire Article
Kunjungan Pemerintah | Dewasa | | |