BAYANGKAN Anda seorang investor yang sedang menata portofolio. Di satu sisi, ada tabungan aman di deposito dengan bunga pasti, tapi kecil.
Di sisi lain, ada saham yang bergejolak, kadang naik, kadang turun, tapi menjanjikan imbal hasil lebih besar. Apa yang Anda pilih?
Dilema inilah yang kini juga dihadapi Indonesia. Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, memutuskan untuk mengucurkan Rp 200 triliun dari dana pemerintah di Bank Indonesia ke sistem perbankan.
Rasionalitasnya jelas: memberi likuiditas, mendorong kredit, menggerakkan ekonomi, dan pada akhirnya menaikkan gairah pasar modal.
Namun, di saat yang sama, Purbaya juga melontarkan mimpi besar: IHSG bisa tembus 36.000 pada 2035.
Baca juga: Dari Dompet Ibu yang Hemat ke Dompet Bapak yang Koboi
Dari level sekitar 7.600 saat ini, itu artinya pasar saham harus melonjak lebih dari lima kali lipat dalam waktu satu dekade. Target yang menuntut bukan hanya keberanian, tapi juga disiplin ala investor jangka panjang.
Likuiditas sebagai “vitamin” ekonomi
Kebijakan Rp 200 triliun ini dalam kacamata teori manajemen investasi ibarat penambahan aset berisiko rendah ke dalam portofolio nasional.
Uang negara yang sebelumnya “parkir” di Bank Indonesia (relatif aman, tapi statis), dipindahkan ke bank komersial yang berpotensi menyalurkan kredit produktif.
Dalam kerangka teori portofolio Markowitz, kebijakan ini meningkatkan “expected return” perekonomian dengan menerima sedikit tambahan risiko. Likuiditas yang lebih longgar bisa membuat sektor usaha lebih mudah berkembang.
Jika usaha tumbuh, laba perusahaan naik, dan harga saham terdorong. Efek domino ini yang diharapkan bisa memperkuat IHSG.
Namun, dalam teori investasi, kita juga tahu: expected return hanya terwujud bila ada realisasi nyata. Jika kredit mandek, kalau dunia usaha tidak punya kepercayaan diri, maka dana Rp 200 triliun itu hanya akan menjadi “cash drag”, uang yang ada, tapi tidak menghasilkan.
Sama seperti investor yang menyimpan dana segar di rekening sekadar demi rasa aman, tanpa pernah menempatkannya pada instrumen produktif.
Mari kita uji target 36.000 dengan kalkulasi sederhana. Dari 7.600 ke 36.000 dalam 10 tahun berarti rata-rata pertumbuhan sekitar 16 persen per tahun.
Dalam kerangka Capital Market Line (CML), imbal hasil sebesar itu menuntut adanya kombinasi unik antara risk-free rate, premi risiko pasar, dan posisi investor terhadap garis efisiensi.
Baca juga: Dampak Guyuran Rp 200 Triliun Dana Pemerintah ke Bank terhadap Perekonomian
Jika kita mengacu pada pasar global, rata-rata return saham dunia sekitar 7–10 persen per tahun. Maka target 16 persen tergolong agresif.