DI TENGAH riuh rendah demokrasi elektoral, persoalan yang tampak sederhana bisa menjelma menjadi isu besar.
Polemik ijazah Presiden ke 7 RI Joko Widodo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memperlihatkan betapa dokumen pendidikan—yang sejatinya hanya syarat administratif—dapat berkembang menjadi perdebatan politik dan konstitusional.
Perdebatan ini menempatkan publik pada dua simpul. Pertama, keabsahan dokumen sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Kedua, legitimasi pemimpin yang lahir dari pemilu jika dokumen itu dipersoalkan.
Di sinilah Komisi Pemilihan Umum (KPU) kerap didorong untuk bertindak lebih jauh dari kewenangannya. Padahal, dalam negara hukum, batas kewenangan adalah pagar yang tak boleh dilompati.
UUD 1945 tidak merinci soal pendidikan calon presiden dan wakil presiden. Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyebut, “syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dalam undang-undang”.
Baca juga: Alasan KPU Batal Rahasiakan Ijazah dan 15 Dokumen Syarat Capres-Cawapres
Atas dasar itu, Pasal 169 huruf r UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menetapkan syarat pendidikan “paling rendah tamat sekolah menengah atas atau sederajat”.
Artinya, undang-undang hanya menetapkan batas minimal. Tidak ada kewajiban gelar sarjana.
Untuk Jokowi, ijazah sarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) justru melampaui syarat. Sementara Gibran memenuhi syarat lewat ijazah SMA Negeri 6 Surakarta.
Mahkamah Konstitusi bahkan menolak permohonan untuk menaikkan syarat pendidikan itu menjadi sarjana (Putusan 87/PUU-XXIII/2025, 17 Juni 2025).
KPU dan kewenangan Administratif
Apakah KPU berwenang menguji keaslian ijazah secara materiil? Jawabannya jelas: tidak.
KPU hanyalah penyelenggara pemilu dengan mandat administratif. Dalam proses verifikasi, KPU hanya memastikan dokumen lengkap dan sesuai aturan: fotokopi ijazah yang dilegalisasi lembaga pendidikan. Jika dokumen itu sah secara administratif, tugas KPU selesai.
KPU tidak berwenang melakukan investigasi apakah calon benar-benar bersekolah di SMA tertentu atau kuliah di universitas tertentu. Itu domain lembaga pendidikan dan pengadilan.
Bila ada pihak yang meragukan, mekanisme tersedia: klarifikasi institusi pendidikan, lalu gugatan perdata atau pidana ke pengadilan.
Memaksa KPU melampaui batas ini berbahaya. Ia tidak hanya menyalahi hukum, tetapi juga membuka ruang politisasi. Bayangkan jika keaslian ijazah diputus berdasarkan tafsir KPU yang rentan tekanan politik.
Namun, demokrasi tidak hanya bertumpu pada kepastian hukum, melainkan juga kepercayaan publik.
Baca juga: Prabowo dan Ilusi Warisan Jokowi