Industri Kehutanan Dinilai Masuk ”Sunset Industry”, Kontribusi Terus Menyusut

2 hours ago 2

JAKARTA, KOMPAS.com - Sektor kehutanan Indonesia kini menghadapi tantangan serius dan dinilai mulai masuk kategori sunset industry alias stagnasi. Kontribusinya terhadap perekonomian kian mengecil, investasi seret, sementara regulasi justru dianggap lebih banyak membebani pelaku usaha ketimbang memberi dukungan.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mencatat kontribusi industri kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) turun drastis dari 0,7 persen menjadi hanya 0,36 persen. Sementara itu, investasi domestik hanya sekitar 1 persen dan investasi asing nyaris tak ada, yakni 0,02 persen.

“Ini menunjukkan rendahnya minat investasi. Padahal kalau dikelola optimal, sektor kayu bisa menjadi pengungkit ekonomi,” ujar Huda dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian bertajuk Ketelusuran Industri Kayu Indonesia: Tantangan dan Solusi, di Jakarta, disiarkan pada Senin (15/9/2025).

Baca juga: Prasasti Hitung Kerugian Demo Rp 1,2 Triliun, Celios Sebut Bisa Tembus Rp 9 Triliun

Menurutnya, meskipun produksi kayu tercatat tumbuh, industri pengolahan seperti gergajian dan kayu lapis justru terus melemah. Kinerja ekspor juga anjlok dalam empat tahun terakhir, meski sempat menunjukkan kenaikan pada dekade sebelumnya.

Pakar kehutanan IPB, Sudarsono Sudomo, menyoroti regulasi yang dinilai menambah beban biaya tanpa memberi manfaat signifikan. Ia mencontohkan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang dinilai tak dirasakan manfaatnya oleh petani maupun pengusaha kecil.

“Setiap aturan hampir pasti menimbulkan cost. Kalau manfaatnya lebih besar, tentu bisa diterima. Tapi kenyataannya, aturan seringkali lebih mahal daripada manfaatnya. Rata-rata petani hanya mengurus SVLK kalau ada bantuan, bahkan banyak yang tidak tahu di mana sertifikatnya,” papar Sudarsono.

Baca juga: Mendag Terbitkan Dua Permendag untuk Ekspor Pertambangan dan Kehutanan, Ini Isinya

Pengusahaan hutan alam bukan penyebab utama deforestasi. Alih fungsi lahan untuk perkebunan maupun kegiatan non-kehutanan lebih dominan.

“Hutan alam itu renewable secara biologis, tapi belum tentu finansial. Masalahnya ada pada insentif ekonomi dan investasi yang kecil dibandingkan sektor perkebunan atau perikanan,” jelasnya.

Data historis menunjukkan penurunan signifikan. Sejak 1990-2023, jumlah perusahaan, luas areal, dan produksi kayu terus menyusut. Dari sekitar 600 unit usaha hutan alam, kini hanya tersisa sekitar 250 perusahaan aktif.

Baca juga: Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan Segera Diresmikan, Berpotensi Capai Rp 258 Triliun per Tahun

Sementara itu, pengamat kehutanan Petrus Gunarso, menilai framing internasional kerap merugikan reputasi kayu asal Indonesia. Ia mencontohkan laporan The New York Times yang menyoroti pasokan kayu untuk industri kendaraan rekreasi (RV) di Amerika Serikat.

“Yang diekspor ke Amerika kebanyakan kayu sisa (IPK) dari land clearing HTI. Itu legal, tapi dibingkai seolah-olah terjadi pembalakan liar besar-besaran,” katanya.

Petrus juga menilai perbedaan definisi deforestasi memperkeruh persoalan.

“Kalau dari hutan alam menjadi hutan tanaman, apakah itu deforestasi? Bagi WWF, iya. Padahal secara produksi, hutan tanaman justru bisa lebih cepat tumbuh, misalnya eukaliptus yang dalam enam tahun sudah bisa dipanen,” lanjutnya.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini

Read Entire Article
Kunjungan Pemerintah | Dewasa | | |