GARUT, KOMPAS.com – Perpustakaan Daerah milik Pemkab Garut, yang terletak di Jalan Pembangunan, bersebelahan dengan RSU dr Slamet Garut, menawarkan suasana tenang yang kontras dengan hiruk pikuk di gedung rumah sakit di sebelahnya.
Meski tidak pernah ramai, perpustakaan ini tetap memiliki pengunjung setia, terutama pelajar yang datang untuk membaca. Saat memasuki ruangan yang selalu bersih, setiap pengunjung diwajibkan melepas alas kaki.
Dua pustakawan muda, Siti Nur Fauziah (33) atau yang akrab disapa Fuji, dan Sevi Avioni, siap menyambut pengunjung di meja penerima tamu.
Di dalam ruang baca, tersedia meja panjang dengan kursi-kursi rapi. Tak lebih dari sepuluh pelajar tampak serius membaca di sudut ruangan, dan suasana biasanya lebih ramai ketika ada kunjungan sekolah.
Baca juga: Kisah Pustakawan Desa di Blora: Wujudkan Mimpi Jadi Pengajar Tanpa Status Guru
Jejak Fuji: Dari Penjaga Perpustakaan hingga ASN
Fuji bergabung sebagai pustakawan ASN di Perpustakaan Daerah Garut sejak 2020. Ia merasa betah karena terbiasa dengan atmosfer perpustakaan sejak masa sekolah di pondok pesantren.
“Kebetulan dulu waktu di asrama saya juga jadi penjaga perpustakaan. Menurut saya, perpustakaan itu bagus dibandingkan di pesantren lain,” ujar Fuji.
Kecintaannya terhadap buku, terutama fiksi dan pengembangan diri, membawanya mengambil jurusan ilmu perpustakaan di Universitas Terbuka (UT). Setelah lulus, ia mencoba peruntungan di tes CPNS dan diterima sebagai pustakawan Pemkab Garut.
“Banyak ternyata fungsinya, dan tidak harus di perpustakaan juga ruang lingkup kerjanya,” tambahnya.
Baca juga: Kisah Melisa, Pustakawan Muda yang Setia Jaga Warisan Lafran Pane
Jejak Sevi: Meneruskan Amanat Sang Ibu
Berbeda dengan Fuji, perjalanan Sevi menjadi pustakawan berawal dari keluarganya. Ibunya adalah seorang pustakawan di Universitas Parahyangan Bandung. Sejak kecil, Sevi sudah terbiasa dengan dunia perpustakaan.
Setelah sang ibu meninggal, Sevi merasa terpanggil untuk meneruskan amanat tersebut. Ia pun mengambil jurusan perpustakaan di Universitas Padjadjaran.
“Setelah meninggal, ibu amanat ke bapak agar ada anaknya yang mau jadi pustakawan,” jelas Sevi.
Profesi yang Kurang Populer, tapi Bermakna
Fuji dan Sevi sama-sama menyadari bahwa profesi pustakawan tidak sepopuler profesi lain seperti guru atau dokter. Banyak orang bahkan baru mengetahui adanya profesi ini.
“Jangankan orang luar, dari lingkungan keluarga saja juga banyak yang nanya,” ungkap Fuji.
Meski demikian, keduanya sepakat bahwa pekerjaan mereka memiliki misi penting: meningkatkan budaya literasi di masyarakat.
“Sekarang juga kan sudah mulai ramai lagi soal budaya literasi dan membaca buku, tapi memang susah membangun budaya membaca buku saat ini. Dengan handphone, orang bisa dapat audio-visual. Buku kan hanya membaca,” kata Fuji.
Menghidupkan Kembali Budaya Membaca
Kedua pustakawan ini optimistis buku fisik tetap punya tempat meski literasi digital semakin berkembang. Mereka mencontohkan beberapa negara maju di Eropa yang kembali membiasakan anak-anak membaca buku cetak.
“Kita rutin adakan kunjungan ke sekolah, sosialisasi kampanye soal budaya membaca, dan mengenalkan buku fisik,” tambah Sevi.
Perpustakaan Daerah Garut sendiri berkomitmen untuk terus mengkampanyekan pentingnya membaca, baik melalui program kunjungan sekolah maupun sosialisasi di berbagai tempat. Dengan dukungan teknologi, mereka berharap api literasi tetap terjaga di tengah derasnya arus digital.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini