SURABAYA, KOMPAS.com - Profesi pustakawan sering dipandang sebelah mata masyarakat, yang menganggapnya hanya berkutat dengan tumpukan buku dan tidak memberikan keuntungan yang signifikan.
Namun, pandangan tersebut dibantah Wahyu Bharoto Sasongko, seorang pustakawan yang telah berjuang keras membangun perpustakaan dari nol.
Meskipun menempuh pendidikan di jurusan ekonomi Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya, kecintaan Acil—sapaan akrab Wahyu Bharoto—terhadap sastra dan buku tidak bisa dipungkiri.
"Memang dari dulu saya suka kesastraan dan bahasa, kemudian sejak kuliah hobi membaca itu mulai tumbuh karena dulu lebih suka ke perpustakaan yang dingin daripada nongkrong ke luar," ujarnya saat diwawancarai Kompas.com pada Sabtu (13/9/2025).
Baca juga: Buku, Pembaca dan Cinta Jalan Hidup sebagai Pustakawan Milenial dari Kota Malang
Pada awal tahun 2000-an, Acil mencanangkan ide membuka perpustakaan karena merasa prihatin dengan minimnya buku-buku tentang kebahasaan dan kesastraan.
"Saya mengawalinya itu karena banyaknya buku-buku tentang kebahasaan dan kesastraan yang tidak terawat, tidak ada yang mengelola, akhirnya saya berinisiatif mendirikan perpustakaan agar bisa dibaca dan dinikmati masyarakat," paparnya.
Perpustakaan Balai Bahasa Jawa Timur (BBJT) didirikan pada tahun 2005 dan resmi mendapat nomor pokok perpustakaan pada tahun 2009.
"Jadi tahun 2005 sebenarnya kan saya sudah ASN, terus waktu itu kan memang belum ada perpustakaan dan memang ada edaran kementerian untuk harus membuat suatu pojok baca atau untuk masyarakat," ujar Acil.
Namun, perjalanan membangun perpustakaan tidak semudah yang dibayangkan.
Acil mengungkapkan bahwa ia menghadapi kurangnya dukungan moril dari instansi terkait, pembatasan ruang, serta kekurangan dana biaya operasional dan pengembangan perpustakaan.
"Selain itu, pada tahun awal 2000-an sampai sekitar 2010, profesi atau jabatan pustakawan itu peran kita masih sangat tertutup," ungkapnya.
Baca juga: Cerita Heroik Pustakawan Pamekasan di Tengah Wabah Covid-19: Ibarat Dokter Layani Pasien
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Acil dan pustakawan BBJT menggandeng berbagai komunitas, merekrut relawan, serta mempromosikan perpustakaan ke kampus-kampus.
"Mungkin orang awam lihatnya pustakawan cuma duduk, menerima pinjaman, pulang, dapat gaji, padahal banyak hal-hal lain yang jauh lebih sulit yang kita kerjakan," ucapnya.
Berkat kerja kerasnya, pengunjung perpustakaan BBJT perlahan-lahan meningkat, dengan jumlah pengunjung mencapai lebih dari 1.000 orang per tahun.
"Semenjak pandemi Covid-19 itu kan sempat terhenti dan setelah tahun itu sudah tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya," terangnya.