Kampung Buku Cibubur Olah Teknologi Jadi Peluang, Bukan Ancaman

1 month ago 17

JAKARTA, KOMPAS.com – Kemajuan teknologi digital tak membuat semangat pegiat literasi Taman Baca Kampung Buku Cibubur, Edi Dimyati (47), surut.

Baginya, perkembangan teknologi justru menjadi peluang untuk menjaga eksistensi taman baca di tengah masyarakat.

Edi mengakui kecanggihan teknologi telah mengubah kebiasaan orang dalam membaca, termasuk beralih ke e-book atau buku elektronik.

Baca juga: Perjuangan Deni Dirikan Rumah Baca demi Nyalakan Lentera Literasi Anak Bangsa

Kini, cukup dengan sentuhan jari di layar ponsel, siapa pun bisa mengakses berbagai bacaan.

Namun, ia menolak anggapan bahwa teknologi adalah lawan bagi taman baca. Menurut Edi, kehadiran teknologi bisa dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan literasi.

Edi menceritakan, sejak awal ia sering membagikan aktivitas taman baca di Facebook, bahkan sebelum ada Instagram. Kebiasaan itu membuat jejaringnya semakin luas.

"Akhirnya lama-lama ada teman-teman yang masih rekanan dari pihak swasta, pemerintah, atau mungkin dari orang yang gak dikenal tiba-tiba ada yang ngirim (donasi) ke sini," ujarnya saat ditemui Kompas.com, Senin (15/9/2025).

Lewat jejaring media sosial itu, pasokan buku terus berdatangan sehingga Taman Baca Kampung Buku Cibubur tetap bertahan hingga kini.

Baca juga: Jatuh Bangun Deni Dirikan Rumah Baca: Dikucilkan Keluarga hingga Dianggap Stres

Buku cetak tetap relevan

Edi menilai perpustakaan maupun taman baca tetap relevan meski masyarakat semakin akrab dengan buku digital. Menurut dia, buku cetak dan buku digital sama-sama memiliki kelebihan sekaligus keterbatasan.

Ia memberi contoh, membaca e-book saat naik gunung sulit dilakukan karena keterbatasan sinyal dan daya baterai. Di sisi lain, tak semua orang betah menatap layar ponsel terlalu lama.

"Terus buat book lovers juga mungkin rada aneh. Dia bisa menikmati aroma kertasnya. Bisa seneng banget begitu. Nah, berbeda dengan e-book, enggak bisa memberikan aroma-aroma kertas," kata Edi.

Edi menekankan, arus informasi dari buku cetak dan digital sebaiknya saling melengkapi. Jika informasi dari buku cetak belum cukup, pembaca bisa menambahkannya lewat internet, begitu pula sebaliknya.

Hanya saja, ia mengingatkan agar masyarakat berhati-hati karena tak semua informasi di internet dapat dipertanggungjawabkan.

Selain itu, menurutnya, keterbatasan akses internet di pedesaan juga membuat taman baca tetap dibutuhkan.

Baca juga: Fokuskan Literasi, Relawan Rumah Belajar Senen Hadapi Tantangan Anak Marginal

Inovasi lewat gim literasi

Tak berhenti di situ, Edi berencana memanfaatkan gim sebagai media untuk menumbuhkan minat baca.

Pada 2026, ia berkeinginan meluncurkan gim berjudul Petualangan Kargo Baca. Gim tersebut terinspirasi dari inisiatifnya membuat perpustakaan keliling dengan sepeda modifikasi.

"Harapannya gim edukasi literasi ini bisa terwujud. Jadi gambarannya di game itu ada sepeda kargo baca, dia mengembara ke perpustakaan, ke komunitas, ada alur ceritanya, nanti ada dikasih kuis tebak-tebakan gitu ya," ujarnya.

Saat ini, rencana itu masih sebatas konsep awal karena dibutuhkan modal sekitar Rp 180 juta untuk pengembangan. Meski demikian, Edi optimistis gerakan literasi akan semakin kuat jika didukung banyak pihak.

"Kalau ketemu dengan orang-orang yang punya spirit sama ya kepingin harapannya bisa melakukan di banyak titik gitu agar gerakan literasi ini menjadi-jadi yang mudah-mudahan bakal lebih terasa lagi dampaknya gitu," ucap dia.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini

Read Entire Article
Kunjungan Pemerintah | Dewasa | | |