Kembangkan Kapasitas PLTN, Asia Tenggara Perlu Investasi 208 Miliar Dollar AS

2 hours ago 1

KOMPAS.com - Analisis terbaru dari konsultan energi Wood Mackenzie menunjukkan bahwa untuk mengembangkan 25 gigawatt (GW) kapasitas energi nuklir pada tahun 2050, Asia Tenggara akan membutuhkan investasi sekitar 208 miliar dolar AS.

Reaktor modular kecil (SMR) juga disebut-sebut sebagai pilihan yang paling disukai untuk pengembangan energi nuklir meskipun berbiaya besar.

Laporan yang berjudul What if Southeast Asia goes nuclear? ini menandai perubahan besar dari proyeksi dasar Wood Mackenzie sebelumnya, yang memperkirakan tidak akan ada penambahan kapasitas nuklir di kawasan itu hingga tahun 2050.

Saat ini, tidak ada negara di Asia Tenggara yang mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir, dan sebagian besar masih sangat bergantung pada batu bara dan gas alam untuk pasokan listrik beban dasar (baseload electricity).

Baca juga: Limbah Nuklir Berpotensi Jadi Sumber Bahan Bakar Reaktor Masa Depan

"Tenaga nuklir menawarkan sebuah proposisi yang menarik bagi pemerintah di Asia Tenggara di mana listrik beban dasar tanpa emisi yang dapat dibangun tanpa peningkatan jaringan listrik yang besar," kata Robert Liew, direktur riset energi terbarukan Asia Pasifik di Wood Mackenzie.

"Namun, pengalaman operasional wilayah yang terbatas menimbulkan risiko signifikan seputar penolakan politik, pembengkakan biaya, dan keamanan pasokan bahan bakar uranium jangka panjang," paparnya, dikutip dari Down to Earth, Senin (15/9/2025).

Studi juga menekankan bahwa reaktor modular kecil (SMR) diperkirakan akan mendominasi lanskap nuklir di kawasan ini.

Hal ini terjadi meskipun perkiraan biaya pembangkitan listriknya mencapai 220 dolar AS per megawatt-jam (MWh) pada tahun 2050, yang lebih dari dua kali lipat dari perkiraan biaya 101 / MWh dolar AS untuk reaktor nuklir konvensional berskala besar.

"Terlepas dari persyaratan modal awal, SMR menawarkan keuntungan signifikan dalam hal kecepatan penerapan dan kompleksitas regulasi," ujar Liew.

"Secara historis, perizinan untuk pembangkit listrik tenaga nuklir besar membutuhkan waktu lima hingga 15 tahun, dengan konstruksi yang membutuhkan waktu lima hingga 15 tahun lagi," tambahnya.

Sebaliknya, SMR dapat beralih dari persetujuan hingga operasi hanya dalam dua hingga tiga tahun jika kebijakan pendukung sudah tersedia. Jangka waktu yang cepat ini dapat menjadi transformatif bagi pasar seperti Asia Tenggara, di mana permintaan akan transisi energi yang lebih cepat semakin meningkat.

Baca juga: Korsel Genjot Kapasitas Nuklir, Diprediksi Jadi 29,8 GW pada 2035

Vietnam akan menjadi yang terdepan dalam pengembangan nuklir di kawasan ini, dengan rencana untuk memulai peluncuran paling cepat tahun 2030 dan meningkatkannya hingga antara 10,5 GW dan 14 GW pada tahun 2050, menurut analisis tersebut.

Sementara laporan mengungkapkan pula rencana nasional Indonesia yakni RUPTL Indonesia 2025–2034 mencakup dua SMR (Surya Makmur) berkapasitas 250 MW, yang menargetkan pembangkit listrik tenaga nuklir sebesar 5 persen pada tahun 2040.

Liew menambahkan lagi meskipun nuklir menawarkan jalur yang jelas menuju pengurangan emisi dan ketahanan energi, kebutuhan investasi yang substansial dan risiko teknologinya memerlukan pertimbangan yang cermat oleh para pembuat kebijakan dan investor regional.

“Keberhasilan impian nuklir di kawasan Asia Tenggara akan bergantung pada pengembangan kerangka regulasi yang tepat dan pengamanan mitra internasional yang berpengalaman,” ungkap Liew.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Read Entire Article
Kunjungan Pemerintah | Dewasa | | |