Kisah Melisa, Pustakawan Muda yang Setia Jaga Warisan Lafran Pane

2 days ago 4

TAPANULI SELATAN, KOMPAS.com – Bangunan dua lantai itu berdiri sederhana di pinggir Jalan Lintas Sumatera. Namanya Perpustakaan Prof Lafran Pane, berada di Desa Pangurabaan, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan.

Di sinilah Melisa Roselina Siregar (31) mengabdikan diri sebagai pustakawan sejak 2018. “Saya sudah bekerja di sini, sejak perpustakaan ini berdiri pada tahun 2018. Dan saya sangat menikmati pekerjaan ini,” ungkap Melisa ketika ditemui, Kamis (11/9/2025).

Sejak kecil, Melisa memang mencintai buku. Namun, ia sempat bingung menentukan jurusan kuliah. “Dulunya saya sempat bingung. Ketika mau melanjutkan kuliah. Dan mau kemana?” ujarnya. Akhirnya, berkat dukungan keluarga, ia memilih jurusan ilmu perpustakaan di Universitas Sumatera Utara.

“Jujur. Itu memang pilihan terakhir, karena awalnya saya masih ragu dengan jurusan ini. Namun berkat dukungan keluarga, akhirnya saya yakin dan kuat,” ungkapnya.

Baca juga: Kisah Hafidz, Pustakawan Muda Bertahan Hidup demi Cintai Buku

Perjalanan itu tidak mudah. Ia kerap dihantui anggapan bahwa profesi pustakawan tidak punya masa depan cerah. “Ya, profesi ini masih dipandang sebelah mata. Artinya, banyak yang mengira tidak memberikan masa depan yang baik,” kata Melisa.

Sebelum pulang kampung, Melisa sempat bekerja sebagai arsiparis di Pengadilan Negeri Medan. Namun, orangtuanya meminta ia kembali ke Sipirok. “Meski sempat bekerja di Medan. Tapi orangtua meminta saya pulang. Dan puji tuhan, saya bisa bekerja dan mengabdikan diri di kampung halaman,” ucapnya.

Perpustakaan Prof Lafran Pane kini memiliki 30.027 eksemplar buku dengan 15.518 judul. Koleksi khusus tentang tokoh nasional Lafran Pane dan karya saudaranya, Sanusi Pane serta Armijn Pane, juga tersimpan di sini. “Dan itu semua, saya yang meng-katalog-kannya, dan memberi barcode secara manual. Dan kemudian dimasukkan ke sistem aplikasi Inlis Lite,” jelasnya.

Baca juga: Kisah Rosa Gitaria, Pustakawan Berjuang Melawan Sakit lewat Buku

Namun, sejak serangan digital ke pusat data nasional pada 2024, sistem itu rusak dan belum bisa diperbaiki. “Dan sistem di perpustakaan ini juga terkena imbas, karena memakai server dari Kominfo. Hingga saat ini belum bisa diperbaiki, karena terkendala anggaran,” keluh Melisa.

Meski terbatas, ia tetap setia melayani. Ia sering merasa sedih ketika anak-anak yang berkunjung kecewa karena koleksi yang tersedia terbatas. “Ketika mendengar itu, saya juga merasa sedih. Mereka bilang, kak, kok bukunya ini-ini saja, kok belum ada yang baru?” tutur Melisa.

Namun ada pula momen yang mengharukan, seperti saat program silang layan ke rumah tahanan di Sipirok. “Kehadiran kami itu selalu dinantikan warga binaan di penjara. Karena, buku-buku yang kami bawa, bisa memberikan hiburan bagi mereka. Dan rasanya senang serta bahagia sekali,” terangnya.

Melisa berharap profesinya memberi manfaat bagi masyarakat. “Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu, mari jatuh cinta,” katanya, mengutip kalimat idolanya, Najwa Shihab.

Holilah Hasibuan (42), pustakawan senior, juga bercerita soal minimnya peminat profesi ini. “Saya dulu juga sempat tidak yakin dengan profesi pustakawan ini. Karena dianggap tidak menjanjikan. Apalagi waktu itu, peminatnya sangat minim sekali,” kenangnya.

Kini, bersama rekan-rekan pustakawan, Holilah berharap ada perhatian lebih dari pemerintah. “Paling tidak ada tunjangan fungsional yang bisa diberikan kepada profesi pustakawan. Seperti yang sudah ada di perpustakaan-perpustakaan lainnya,” ujarnya.

Kepala Bidang Pengembangan Perpustakaan, Rizki Yuhdiana Siregar, menyebut Perpustakaan Prof Lafran Pane termasuk yang terbaik di Tapanuli Bagian Selatan. “Kami tetap mengutamakan pelayanan yang baik dan maksimal. Dan kami terus berusaha menambah koleksi buku-buku kami. Juga fasilitas yang ada saat ini,” ucap Rizki.

Selain membaca dan meminjam buku, perpustakaan ini juga rutin menggelar pengajian, tari, komputer, diskusi, hingga story telling. “Meski ada beberapa desa yang berstatus terpencil, yang belum dapat kami akses karena kendala kondisi daerah dan juga anggaran. Namun, kami berharap semua daerah di Tapsel ini, bisa memiliki perpustakaan,” kata Rizki.

Di balik keterbatasan itu, Perpustakaan Prof Lafran Pane tetap hidup berkat dedikasi pustakawan seperti Melisa.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini

Read Entire Article
Kunjungan Pemerintah | Dewasa | | |