Kisah Relawan TBC: Dikejar Anjing, Dilaporkan ke Polisi, Semua demi Pasien Sembuh

2 hours ago 3

MAGETAN, KOMPAS.com – Di balik upaya pemberantasan Tuberkulosis (TBC) oleh pemerintah, ada kisah para relawan yang jarang terdengar.

Mereka bukan dokter atau perawat, melainkan perempuan-perempuan yang hatinya tak tega melihat orang lain menderita.

Mereka mengetuk pintu rumah, mendengarkan keluhan, mengantar pasien ke puskesmas, hingga menanggung risiko ditolak, dicibir, bahkan kehilangan orang yang mereka dampingi.

Trauma yang Menguatkan

Puspo Dyah Pramuwati mengawali perannya sebagai kader TBC dengan semangat sederhana, membantu orang yang sakit.

Setiap kali mendengar suara batuk yang tak kunjung reda, ia langsung teringat pesan di radio yang dia dengarkan, bahwa batuk lebih dari dua minggu bisa menjadi tanda TBC.

Baca juga: Magetan Bentuk Desa Siaga TBC untuk Tekan Stigma dan Kasus Baru

Ia mengajak orang tersebut untuk periksa ke puskesmas, bahkan sering mengantarnya sendiri.

“Kan di radio yang saya dengar kalau batuk lebih dari dua minggu dimungkinkan itu TBC. Saya ajak yang batuk untuk periksa, bahkan saya antar ke puskesmas,” ujarnya saat ditemui usai kegiatan sosialisasi, Sabtu (13/9/2025).

Namun, semangat itu berubah menjadi trauma ketika tiga orang yang dia dampingi mengeluhkan mual, tidak bisa makan, dan lemas sebagai bagian dari efek pengobatan TBC.

Trauma semakin meningkat ketika mengetahui pasien yang didampinginya ada yang meninggal saat menjalani proses pengobatan karena penyakitnya sudah kronis dan terlambat ditangani.

“Saya trauma karena setelah menjalani pengobatan satu minggu, katanya mual, tidak bisa makan, lemas. Kan orang kalau tidak makan lemas,” imbuhnya.

Baca juga: Kasus TBC di Jakarta Utara Capai 5.942 dalam Setahun Terakhir

Sejak itu, Puspo dihantui rasa bersalah. Ia merasa ucapannya yang mendorong pasien berobat justru mempercepat penderitaan.

“Sampai saya tidak bisa tidur. Rasanya bersalah sekali,” ucapnya lirih.

Trauma itu hampir membuatnya berhenti. Tetapi hati kecilnya tak bisa tinggal diam.

Ia berasal dari keluarga sederhana, tumbuh bersama saudara-saudaranya yang hidup dalam keterbatasan.

Kini, ketika ia merasa lebih beruntung, ia ingin berbagi.

“Akhirnya saya tetap membantu dengan mengedukasi bahwa pengobatannya bisa antara 6 sampai 8 bulan, harus tertib dan disiplin agar bisa sembuh. Saya memastikan TBC bisa sembuh tapi butuh waktu dan disiplin,” kata Puspo.

Ketika ada pasien yang butuh bantuan, Puspo tak bisa menolak.

Dia juga aktif menyalurkan bantuan sembako bagi warga yang tidak mampu melalui Yayasan Bhanu Sejahtera.

“Kalau misalnya saya ada waktu, saya antar, saya daftarkan. Berobat tidak boleh berhenti karena kalau tidak sembuh khawatir menular. Saya hanya bisa menyemangati mereka,” ucapnya.

Read Entire Article
Kunjungan Pemerintah | Dewasa | | |