JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil mantan Direktur Utama Allo Bank Indra Utoyo sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di salah satu bank milik negara (BUMN) pada Selasa (16/9/2025).
“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Selasa (16/9/2025).
Selain Indra, KPK juga memanggil sejumlah saksi, yakni Irni Palar selaku Country Manager PT Verifone Indonesia (Tahun 2016-sekarang); Indra Aris Kurniawan selaku Direktur Utama PT Jaring Mal Indonesia; dan Herdika Aji Wibowo selaku karyawan swasta.
Baca juga: KPK Sita Rp 10 Miliar dalam Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Mesin EDC
Meski demikian, KPK belum menyampaikan materi yang akan didalami dari para saksi tersebut.
KPK telah menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di salah satu bank milik negara (BUMN), yaitu berinisial CBH, IU, DS, EL, dan RSK.
"Telah ditemukan bukti permulaan yang cukup terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan EDC Android yang dilakukan secara melawan hukum," kata Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, (9/7/2025).
Baca juga: KPK Tetapkan 5 Tersangka Terkait Kasus Pengadaan Mesin EDC
Dalam konstruksi perkara, Asep mengatakan, kasus tersebut dimulai pada tahun 2019 di mana sebelum pengadaan EDC, EL melakukan pertemuan dengan IU dan CBH.
“EL beberapa kali melakukan pertemuan dengan IU dan CBH, kemudian disepakati bahwa EL nanti akan menjadi vendor EDC dengan menggandeng PT Bringin Inti Teknologi, ini tidak boleh," ujarnya.
Asep mengatakan, mestinya proses pengadaan barang melalui vendor dilakukan dengan cara lelang.
Baca juga: KPK Cegah Dirut Allo Bank ke Luar Negeri Terkait Kasus Pengadaan EDC
Kemudian, dia mengatakan, IU memberikan pengarahan kepada jajarannya agar mesin EDC yang dibawa EL bisa dilakukan uji kelayakan.
Asep mengatakan, dengan adanya arahan IU, uji kelayakan hanya dilakukan terhadap mesin EDC yang dibawa oleh EL.
Padahal, terdapat mesin EDC lain yang juga bisa dilakukan uji kelayakan.
“Untuk pengujian ini pun juga tidak dilakukan secara luas, tidak diinformasikan secara luas. Sehingga vendor-vendor lain, merek-merek lain itu tidak bisa mengikutinya," tuturnya.
Asep mengatakan, atas tindakan tersebut, CBH menerima uang sebesar Rp 525 juta, sepeda, dan dua ekor kuda dari EL.
Baca juga: Kantor Bank BUMN Digeledah KPK Terkait Pengadaan Mesin EDC
Kemudian, DS menerima sepeda Cannondale dari EL senilai Rp 60 juta.
Sementara itu, RSK menerima sejumlah uang selama periode 2000-2004 dengan total Rp 19,72 miliar.
Terakhir, Asep mengatakan, kerugian negara akibat kasus korupsi tersebut mencapai Rp 744 miliar.
“Kerugian keuangan negara yang dihitung dengan metode real cost, sekurang-kurangnya sebesar Rp 744.540.374.314," ucapnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini