KOMPAS.com-Guyuran likuiditas pemerintah ke bank pelat merah menuai perdebatan.
Sejumlah bank menilai perlambatan kredit saat ini lebih karena lemahnya permintaan, bukan ketatnya likuiditas.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan kredit menganggur atau undisbursed loan mencapai Rp 2.304 triliun per Juni 2025. Angka itu naik dari Rp 2.152 triliun pada periode sama tahun lalu.
Baca juga: OJK Terbitkan Aturan untuk Mudahkan Akses Pembiayaan UMKM
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut tren ini sinyal kuat persoalan utama ada di sisi permintaan dan eksekusi proyek.
“Uang di sistem tersedia, tetapi dunia usaha belum menariknya secepat yang diharapkan, baik karena kehati-hatian, penundaan belanja modal, maupun preferensi memakai kas internal terlebih dulu,” ujar Josua, Senin (15/9/2025).
Josua menegaskan kenaikan kredit menganggur bukan satu-satunya faktor yang menggambarkan minimnya permintaan kredit. Eksekusi proyek dan preferensi pendanaan internal juga menentukan.
Ia menilai likuiditas Rp 200 triliun ke bank pelat merah baru efektif bila disalurkan ke pembiayaan yang siap dicairkan dan sektor dengan perputaran cepat.
Jika tidak, dana lebih aman ditarik kembali daripada mengendap dan menekan marjin.
“Saluran yang paling menjanjikan untuk mempercepat penyerapan adalah segmen dan sektor prioritas yang memang sudah didukung kebijakan bersama Kementerian Keuangan–Bank Indonesia,” kata Josua.
Baca juga: Bunga Pinjaman Kopdes Kurang dari 6 Persen, Menkop Pede Tak Ada Kredit Macet
Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan menilai kredit menganggur sangat bergantung pada animo investasi korporasi. Ia mengakui hingga Agustus 2025 permintaan kredit belum pulih.
“Kami harapkan menjelang kuartal IV-2025 bisa lebih bergairah. Dan tergantung dari sikon ekonomi dan image keamanan dalam negeri,” ujar Lani.
CIMB Niaga mencatat kredit menganggur sebesar Rp 112,65 triliun pada Juli 2025. Angka ini naik dibandingkan Rp 105,25 triliun pada Juli 2024.