Lelucon Usul UU Anti-Flexing

3 days ago 7

BEBERAPA hari lalu, muncul usulan anggota DPR mengenai anti-flexing. Isinya sederhana: melarang pejabat dan anggota DPR memamerkan gaya hidup mewah.

Di atas kertas, gagasan ini terdengar manis—seolah demi menjaga sensitivitas sosial. Namun di telinga rakyat, usulan ini lebih mirip lelucon pahit yang datang di saat bangsa sedang berkabung.

Indonesia baru saja diguncang demonstrasi besar yang berujung kerusuhan di sejumlah daerah. Luka sosial belum kering, ekonomi masih pincang. Harga kebutuhan pokok naik, angka pengangguran tak juga turun.

Data BPS Februari 2025 mencatat, ada 7,28 juta orang yang masih menganggur. Sementara 59 persen pekerja bertahan di sektor informal, tanpa jaminan sosial, tanpa kepastian masa depan.

Dalam situasi seperti ini, siapa yang butuh aturan soal gaya pamer pejabat?

Baca juga: Transformasi Struktural: Beri Harapan Generasi Muda

Fenomena flexing memang ada. Ia bisa memicu iri, memperlebar jurang sosial, bahkan menumbuhkan budaya konsumtif. Namun, menjawabnya dengan undang-undang baru adalah salah kaprah.

Negeri ini sudah punya perangkat hukum untuk menindak penipuan, gratifikasi, hingga pencucian uang. Menambah satu UU lagi hanya akan mempertebal tumpukan regulasi yang sering kali tidak efektif.

Sesungguhnya, flexing bukan soal hukum, melainkan soal kultur dan literasi. Di era media sosial, rendahnya literasi finansial dan etika digital membuat banyak orang tergoda untuk tampil seolah-olah serba berlebih.

Jawabannya jelas: pendidikan, kampanye literasi, dan keteladanan. Bukan jeratan pidana baru.

Yang lebih berbahaya, ide ini menyampaikan pesan keliru. Ibaratnya, korupsi boleh saja dilakukan, asal jangan dipamerkan.

Jika ini logika yang dipakai, maka batas moral kehidupan publik runtuh. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang tidak lagi dipandang sebagai kejahatan, melainkan hanya kesalahan etika jika dipublikasikan.

Padahal, persoalan bukan pada gaya pamer, melainkan pada asal-usul kekayaan itu sendiri.

Prioritas salah arah

Kritik terbesar atas ide ini bukan semata pada substansinya, melainkan pada prioritasnya. Di tengah rakyat yang menanti solusi nyata dari pemerintah—lapangan kerja, jaring pengaman sosial, kestabilan harga— justru muncul ide soal larangan pamer.

Ini menambah jurang kepercayaan publik, di mana kita harusnya berpikir kebijakan strategis, justru tampak sibuk dengan wacana kosmetik.

Baca juga: Flexing dan Cermin Masyarakat: Antara Validasi, Identitas, dan Krisis Kepercayaan

Jika ingin serius, ada tiga jalan yang jauh lebih bermakna. Pertama, edukasi publik: memperkuat literasi finansial dan etika digital agar masyarakat tidak terjebak dalam budaya pamer semu.

Read Entire Article
Kunjungan Pemerintah | Dewasa | | |