PEREKONOMIAN Indonesia tengah berada di persimpangan penting. Di satu sisi, inflasi masih terkendali di kisaran 2 persen, capaian yang memberi ruang bagi kebijakan ekspansif.
Di sisi lain, pertumbuhan kredit perbankan masih melambat, sementara rupiah menghadapi tekanan eksternal akibat gejolak global.
Dalam situasi seperti ini, Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang baru dilantik mengambil langkah strategis: mengalirkan kembali tabungan pemerintah yang selama ini mengendap di Bank Indonesia untuk disalurkan melalui perbankan ke masyarakat.
Kebijakan ini menandai arah baru dalam hubungan fiskal dan moneter, yang bukan saja bertujuan menjaga likuiditas, tetapi juga memastikan uang negara bekerja untuk kepentingan rakyat.
Langkah ini sekilas mengingatkan publik pada istilah quantitative easing atau QE, kebijakan populer yang dijalankan bank sentral di negara maju saat krisis keuangan global 2008 maupun pandemi 2020.
Baca juga: Ceplas-ceplos ala Koboi Menkeu Purbaya
Namun, alih-alih menempuh jalan QE, Menteri Keuangan secara tepat memilih instrumen likuiditas fiskal.
Perbedaannya mendasar: QE berarti bank sentral mencetak uang baru untuk membeli obligasi dalam jumlah besar, sehingga neraca bank sentral melebar dan jumlah uang beredar melonjak drastis.
Indonesia tidak mengambil risiko itu. Pemerintah justru memanfaatkan dana yang memang sudah tersedia di rekening kas negara, yakni dana riil yang bersumber dari Saldo Anggaran Lebih dan SiLPA, untuk dialirkan ke perbankan.
Dengan demikian, uang yang sebelumnya mengendap kini dapat segera masuk ke sektor-sektor produktif.
Bukan “printing money” yang berpotensi mengguncang inflasi dan melemahkan rupiah, melainkan optimalisasi likuiditas fiskal yang lebih aman, terukur, dan sesuai kebutuhan perekonomian saat ini.
Menteri Keuangan Purbaya menegaskan, tujuan utama langkah ini adalah menghindari dana pemerintah yang terlalu lama “tidur” di bank sentral.
Ia menuturkan bahwa pihaknya akan menarik sebagian besar tabungan negara, berupa Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SiLPA) yang totalnya mencapai sekitar Rp 425 triliun. SAL ini tersimpan di rekening pemerintah di Bank Indonesia.
Dari jumlah tersebut, pemerintah berencana menarik Rp 200 triliun untuk dikembalikan ke sistem perekonomian. Dengan cara ini, uang negara yang selama ini mengendap akan bisa segera menggerakkan aktivitas ekonomi di masyarakat.
Kebijakan ini juga tidak bisa dilepaskan dari praktik burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia.
Pada masa pandemi, burden sharing diwujudkan dalam bentuk pembelian obligasi pemerintah oleh bank sentral demi menutup defisit fiskal yang melebar.