JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengungkapkan bahwa krisis pengelolaan sampah memicu banjir parah di Bali, pada 10 September 2025 lalu.
Penananganan sampah yang tak tuntas menyebabkan air merendam permukiman, seiring dengan terjadinya hujan ekstrem di wilayah tersebut.
Menteri LH, Hanif Faisol Nurofiq, menyebutkan tumpukan sampah yang menutup aliran sungai mengakibatkan debit air gagal terserap, merendam kawasan padat penduduk, bahkan menelan 17 korban jiwa, dengan lima orang lainnya masih dalam pencarian.
“Persoalan sampah harus ditangani di sumbernya. Tidak boleh lagi hanya dipindah, karena sudah memperparah bencana dengan korban jiwa,” kata Hanif dalam keterangannya, Minggu (14/9/2025).
Baca juga: BNPB: Banjir Bali Tunjukkan Kompleksitas Iklim, Bencana Hidrometeorologi, dan Prakiraan Cuaca
Krisis ini menunjukkan sistem pengelolaan sampah di Bali belum terintegrasi antara hulu dan hilir. Selain itu, kebiasaan membuang sampah sembarangan masih terjadi, serta infrastruktur pengolahan belum mampu menampung volume sampah harian yang kian meningkat.
Hanif menyatakan, pengelolaan sampah terkendala kurangnya pengawasan di daerah aliran sungai, sehingga sampah plastik, organik, maupun material konstruksi menumpuk lalu menyumbat serapan air saat hujan ekstrem.
“Kita tidak boleh lagi membiarkan persoalan sampah hanya menjadi urusan teknis pemindahan lokasi. Sampah harus diselesaikan secara tuntas di sumbernya agar tidak menjadi ancaman bagi keselamatan masyarakat dan kelestarian lingkungan,” tutur dia.
Adapun saat ini KLH melakukan penguatan pengelolaan sampah berbasis masyarakat, pembangunan fasilitas pengolahan modern di tingkat kabupaten/kota, serta integrasi penegakan hukum terhadap pembuangan sampah ilegal.
Lainnya, mendorong kerja sama dengan sektor swasta dan komunitas guna mengurangi timbulan sampah dari sumbernya guna memutus siklus buruk sampah sebagai pemicu bencana termasuk di Bali.
Baca juga: BNPB Rinci Data Terbaru Korban Banjir Bali dan Uraikan Sebabnya
“Momentum ini harus kita jadikan pengingat bersama bahwa sampah adalah ancaman nyata. Bila tidak ditangani serius, ia akan terus menjadi bom waktu yang memperparah bencana di Bali,” ucap Hanif.
Sementara itu, Gubernur Bali, I Wayan Koster, mengungkapkan pada 9 September, curah hujan yang turun di daerah aliran sungai (DAS) Ayung mencapai 121 juta meter kubik.
“Ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman perubahan iklim bagi Bali,” tutur dia.
Krisis tutupan hutan di DAS Ayung turut memperparah kondisi lahan di Bali. Dari total 49.500 hektare luas kawasan, hanya 1.500 hektare atau 3 persen yang masih berhutan. Padahal secara ekologis dibutuhkan minimal 30 persen tutupan lahan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.