“MESIN ekonomi Indonesia pincang selama 20 tahun terakhir,” ujar Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam konferensi pers 11 September 2025.
Ia menilai selama dua dekade, pemerintah terlalu mengandalkan dorongan belanja publik dan proyek infrastruktur, sementara sektor swasta—yang seharusnya menjadi motor utama pertumbuhan—kehabisan bahan bakar.
“Zaman Pak SBY rata-rata (uang beredar) tumbuh 17 persen lebih. Akibatnya uang di sistem cukup, kredit tumbuh 22 persen. Zaman Pak Jokowi cuma 7 persen, bahkan sempat nol sebelum pandemi,” tegasnya.
Pernyataan ini mengguncang wacana ekonomi nasional, karena Purbaya bukan hanya sedang membaca masa lalu, melainkan memasang taruhan masa depan: mengucurkan dana segar Rp 200 triliun dari kas pemerintah yang mengendap di Bank Indonesia ke bank-bank pelat merah.
Harapannya sederhana, tapi ambisius — agar likuiditas mengalir, kredit bergerak, dan ekonomi melesat 6–7 persen per tahun.
Baca juga: Dari Dompet Ibu yang Hemat ke Dompet Bapak yang Koboi
Namun di tengah sejarah panjang ide-ide besar yang sering gagal dieksekusi tuntas, mungkinkah suntikan dana ini benar-benar mampu mengubah arah perekonomian Indonesia?
Banyak ide, tapi lemah menyelesaikan
Indonesia tidak kekurangan gagasan besar. Selama 20 tahun terakhir, ratusan program dicanangkan: penghiliran nikel, reformasi agraria, digitalisasi UMKM, industrialisasi pangan, hingga cetak biru ekonomi hijau.
Di atas kertas, semuanya tampak brilian. Namun kenyataan berkata lain. Pertumbuhan ekonomi rata-rata sejak 2015 hanya sekitar 5,05 persen, jauh di bawah potensi 6–7 persen.
Data Bappenas menunjukkan lebih dari 30 persen proyek strategis nasional 2015–2023, mengalami keterlambatan, bahkan sebagian mangkrak karena hambatan perizinan, pembebasan lahan, atau sengketa antar lembaga.
Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut Bank Dunia sebagai execution gap — jurang antara perencanaan dan pelaksanaan.
Laporan Bank Dunia 2023 mencatat bahwa kelemahan implementasi kebijakan menyebabkan Indonesia kehilangan potensi pertumbuhan sekitar 1,2 poin persen setiap tahun.
Dengan kata lain, jika program berjalan efektif, Indonesia semestinya sudah menembus pertumbuhan 6–7 persen sejak lama.
Perry Warjiyo juga menegaskan, “Untuk menumbuhkan ekonomi ke 5,6 persen dan seterusnya, bukan cukup dari stimulus, tapi dari peningkatan produktivitas sektor riil yang konsisten.”
Sayangnya, produktivitas Indonesia masih tertinggal. Data Asian Productivity Organization menunjukkan produktivitas tenaga kerja Indonesia pada 2023 hanya sekitar 29.000 dollar AS per pekerja per tahun, tertinggal jauh dari Malaysia (67.000 dollar AS) dan Thailand (40.000 dollar AS).
Tanpa lonjakan produktivitas, tambahan kredit hanya akan menambah konsumsi jangka pendek, bukan mendorong ekspansi kapasitas produksi.