BEBERAPA hari terakhir, dunia diguncang kabar dari Nepal. Pemerintah setempat memilih menutup akses ke semua media sosial—Facebook, WhatsApp, TikTok, hingga Instagram—dengan alasan mencegah hoaks dan menjaga stabilitas keamanan.
Alih-alih meredam situasi, kebijakan ini justru memicu amarah publik. Demonstrasi meluas, kerusuhan tak terbendung, hingga awalnya merenggut nyawa belasan orang. Tekanan kian kuat sampai akhirnya pemerintah terpaksa mencabut larangan itu.
Data kepolisian setempat pada Jumat (12/9/2025), setidaknya sudah 51 orang tewas dan hampir 1.500 orang terluka dalam rentetan kerusuhan.
Kejadian di Nepal adalah cermin bahwa mematikan media sosial di era digital sama saja dengan mematikan ruang publik. Jika dulu alun-alun kota menjadi tempat warga berkumpul, kini peran itu digantikan oleh platform daring.
Menutupnya berarti menutup percakapan nasional. Tidak heran kemarahan publik meledak, karena pemblokiran bukan hanya soal hiburan, tetapi menyentuh jantung demokrasi dan ekonomi rakyat.
Baca juga: Habis Nepal Terbitlah Perancis dan Pelajaran bagi Indonesia
Pelajaran penting dari Nepal relevan bagi banyak negara lain, termasuk Indonesia. Kita pernah mengalami pembatasan sebagian fitur WhatsApp dan Instagram saat kerusuhan 2019.
Respons publik kala itu relatif terkendali, karena pembatasan bersifat sementara dan terbatas. Perbedaan konteks ini menjelaskan mengapa Nepal jatuh ke krisis, sementara Indonesia bisa melewati situasi genting dengan risiko minimal.
Lima penyebab utama
Setidaknya ada lima alasan mengapa publik begitu marah ketika media sosial ditutup. Pertama, media sosial kini berfungsi sebagai ruang publik utama. Di sanalah warga saling berbagi informasi, berdiskusi, bahkan menyampaikan aspirasi politik.
Kedua, ekonomi digital terpukul. Ribuan UMKM, pekerja lepas, dan kreator menggantungkan hidup pada media sosial. Pemblokiran berarti menghantam pendapatan harian mereka.
Ketiga, krisis kepercayaan. Ketika pemerintah menutup saluran komunikasi, publik curiga ada sesuatu yang ditutupi.
Keempat, efek domino informasi. Alih-alih mengurangi hoaks, pemblokiran justru mendorong rumor liar menyebar lewat VPN atau aplikasi pesan terenkripsi.
Kelima, aspek psikologi kolektif. Pemblokiran menyentuh semua orang sekaligus, menciptakan rasa frustrasi massal yang cepat berubah menjadi kemarahan bersama.
Belajar dari negara lain, kita bisa melihat pola berbeda. Iran dan Myanmar pernah memblokir media sosial dalam waktu lama. Respons publik keras, tetapi pemerintah mereka tetap bisa bertahan karena punya kendali politik yang kuat.
China bahkan memilih jalur permanen dengan mengganti platform global dengan alternatif lokal seperti WeChat dan Weibo.
Baca juga: Gen Z Menantang Politik Usang
Sebaliknya, Indonesia memilih pembatasan singkat dan parsial, sehingga dampaknya relatif lebih terkendali. Dari sini jelas bahwa skala, durasi, dan konteks politik sangat menentukan hasil kebijakan.