GELOMBANG kerusuhan di Nepal pada September 2025 ini, mempresentasikan krisis sistemik akibat kegagalan transisi demokrasi pasca-monarki.
Ia bukan sekadar respons terhadap pemblokiran media sosial, tetapi manifestasi akumulasi kekecewaan atas tiga kegagalan struktural: institusi politik korup, disparitas ekonomi yang melebar, dan penyempitan ruang deliberasi publik.
Bagi elite politik, pelarangan platform digital mungkin dilihat sebagai langkah stabilisasi. Namun bagi generasi muda, yang kebanyakan Gen-Z, kebijakan memblokir media sosial merupakan simbol paling nyata dan terakhir dari negara yang lebih memilih represi ketimbang dialog; lebih memilih membungkam dan bukan mendengarkan.
Kebijakan pembatasan akses digital terbukti menjadi strategic miscalculation. Bagi populasi muda Nepal yang mengandalkan platform digital sebagai ruang ekonomi, sosial, dan politik, langkah ini tidak hanya memutuskan mata pencaharian, tetapi juga menghancurkan saluran aspirasi politik yang tersisa.
Baca juga: Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah
Situasi itu diperparah dengan viralnya fenomena "nepo kids" yang mengekspos hipokrisi elite penguasa; semakin memperjelas jurang pemisah antara elite politik dan warga biasa.
Konfluensi kedua faktor inilah yang mentransformasi ketidakpuasan menjadi gerakan sosial vertikal atau kemarahan terpendam menjadi mobilisasi massa berskala nasional.
Tiga dekade pasca-restorasi demokrasi, Nepal gagal memenuhi janji reformasinya. Data terbaru menunjukkan tingkat pengangguran pemuda masih tinggi (sekitar 28 persen), mobilitas sosial tersumbat, sementara korupsi struktural telah menggerogoti jantung birokrasi sehingga menghambat distribusi sumber daya.
Bagi generasi muda Nepal, sistem politik yang ada tidak lagi dipandang sebagai solusi, melainkan bagian dari masalah.
Mereka menyaksikan oligarki politik mengonsolidasi kekuasaan melalui jaringan patronase, sementara mayoritas populasi terjebak dalam ekonomi subsisten.
Wajar jika protes kali ini mengambil karakter pemberontakan generasi— deklarasi bahwa batas kesabaran mereka telah terlampaui.
Respons negara
Alih-alih meredakan ketegangan, pemerintah memilih jalur represif, bukan dialog. Aparat keamanan dikerahkan, tembakan dilepaskan, dan kantor-kantor pemerintah dibentengi bak menghadapi invasi asing. Puluhan nyawa melayang, ratusan lainnya terluka.
Kekerasan negara justru memberikan legitimasi moral tambahan bagi gerakan protes. Narasi publik dengan cepat bergeser dari penolakan terhadap kebijakan digital menjadi perlawanan terhadap state violence.
Baca juga: Indonesia, Belajarlah dari Nepal
Krisis politik meruntuhkan sisa-sisa kepercayaan publik, memaksa perdana menteri dan presiden mengundurkan diri dan meninggalkan kekosongan kekuasaan.
Dampak krisis melampaui ranah politik. Sektor pariwisata—penyumbang 8 persen PDB—kolaps dalam seminggu. Investor asing menarik portofolio mereka. Pasar modal mengalami penurunan terburuk dalam sejarah.
Lebih parah lagi, terjadi erosi legitimasi institusi negara. Demokrasi, yang pernah dirayakan sebagai prestasi pasca-monarki, berada di ambang delegitimasi total.