KATHMANDU, KOMPAS.com - Nepal tengah diguncang krisis politik serius setelah demonstrasi besar-besaran yang dipimpin generasi muda sejak Senin (8/9/2205) berujung pada kekerasan, korban jiwa, dan pengunduran diri Perdana Menteri KP Sharma Oli.
Gelombang protes yang awalnya dipicu oleh larangan penggunaan media sosial berkembang menjadi gerakan anti-korupsi terbesar sejak Nepal menjadi republik demokratis pada 2008.
Sedikitnya 30 orang dilaporkan tewas dan hampir 200 lainnya luka-luka akibat bentrokan antara polisi dan demonstran.
Baca juga: Apakah Aksi di Indonesia Picu Demo Nepal? Begini Penjelasan Pakar
Massa yang menamai diri mereka sebagai generasi Z (Gen Z) bahkan membakar gedung parlemen, kantor partai politik, hingga rumah para pejabat.
Agung Setiyo Wibowo, Direktur The Pandita Institute sekaligus pengamat hubungan internasional, menilai kondisi ini sebagai hasil dari kegagalan Pemerintah Nepal membaca aspirasi publik.
“Pengalaman Nepal memperlihatkan apa yang terjadi bila pemerintah memilih pembatasan ruang komunikasi (social media ban) lalu berusaha mengandalkan kekuatan aparat: reaksi publik bisa jadi jauh lebih keras dan tak terkendali,” katanya, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (11/9/2025).
Latar belakang demonstrasi
AFP/PRABIN RANABHAT Api berkobar di Singha Durbar, gedung pemerintahan utama di Kathmandu, Nepal, saat kerusuhan demo Nepal terjadi pada Selasa (9/9/2025). Usai demo mematikan di Nepal, Balendra Shah didorong anak muda untuk mengisi posisi perdana menteri, menggantikan Khadga Prasad Sharma Oli.
Demonstrasi di Nepal awalnya dipicu oleh larangan pemerintah atas 26 platform media sosial populer, termasuk WhatsApp, Facebook, dan Instagram.
Larangan itu segera menuai kecaman, karena dianggap sebagai upaya membungkam suara publik, khususnya gerakan antikorupsi yang tengah menguat.
Saat itu, tagar NepoKids dan NepoBaby menyeruak di TikTok dan Instagram, menyoroti gaya hidup mewah anak-anak elite politik di tengah kesulitan ekonomi rakyat.
Kemarahan atas larangan penggunaan media sosial ini kemudian berubah menjadi protes antikorupsi yang meledak pada Senin (8/9/2205).
Selama unjuk rasa terjadi, Agung menilai respons Pemerintah Nepal justru memperburuk keadaan.
Baca juga: Penjarahan Guncang Demo Nepal: Bank Dirampok, Toko Digasak
Menurutnya, langkah represif seperti penggunaan gas air mata, peluru karet, hingga peluru tajam terhadap massa justru membuat legitimasi pemerintah semakin runtuh.
“Penggunaan kekerasan berlebihan cenderung menambah delegitimasi pemerintah dan memperpanjang krisis,” tambahnya.
Etika gerakan massa
Selain menyoroti tindakan aparat, Agung juga melihat perilaku brutal demonstran yang dinilai mencederai tujuan awal aksi.