SAMARINDA, KOMPAS.com – Anggaran gaji dan tunjangan DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) yang mencapai Rp 52,2 miliar pada 2025 menuai kritik tajam dari akademisi.
Transparansi yang minim serta besaran tunjangan yang dinilai tidak rasional dianggap sebagai bentuk ketidakpekaan wakil rakyat terhadap kondisi ekonomi masyarakat.
Baca juga: Gaji dan Tunjangan DPRD Kaltim 2025 Capai Rp 52,2 Miliar
Pengamat kebijakan publik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Mulawarman, Saipul Bahtiar, menilai sikap Ketua DPRD, anggota dewan, hingga sekretariat yang enggan membuka detail tunjangan memperlihatkan rendahnya kesadaran akan pentingnya keterbukaan informasi.
“Kalau memperhatikan dari ‘ngelesnya’ Ketua DPRD, anggota, dan pihak sekretariat, itu sangat disayangkan. Transparansi penggunaan uang negara justru harus dicontohkan oleh para wakil rakyat,” kata Saipul, Rabu (10/9/2025).
Gaji Pokok Kecil, Tunjangan Membengkak
Menurut Saipul, skema penerimaan anggota dewan di berbagai daerah sebenarnya serupa, hanya berbeda besaran.
Perbedaan itu biasanya diatur dalam pergub, perbup, atau perwali.
Namun, ia menilai istilah “tunjangan” kerap dipakai untuk menyamarkan beban keuangan publik.
“Kata tunjangan seolah digunakan untuk mengelabui pemahaman masyarakat. Yang ditonjolkan ke publik hanya gaji pokok, padahal gajinya sengaja dibuat kecil. Logika perhitungan tunjangan ini pun tertutup, apakah memakai acuan eselon jabatan atau kelipatan UMR?” tegasnya.
Ia menyoroti tunjangan perumahan Rp 30,2 juta dan tunjangan transportasi Rp 16,7 juta per bulan yang diterima anggota DPRD Kaltim.
Menurutnya, nominal tersebut jauh dari asas efisiensi.
“Tunjangan rumah Rp 30 juta, rumah apa yang disewa sampai segitu mewahnya? Transportasi Rp 16 juta per bulan, kendaraan apa yang dipakai? Kalau sebesar itu, bisa untuk cicilan mobil mewah. Itu tidak rasional,” ucapnya.
DPRD Dinilai Tak Jalankan Fungsi Serius
Saipul juga menyinggung kinerja DPRD yang kerap baru bergerak setelah masyarakat turun ke jalan. Menurutnya, kondisi itu memperlihatkan lemahnya fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang seharusnya dijalankan dewan.
“Fakta di lapangan, pajak dinaikkan, rakyat demo. Janji kepala daerah tak terwujud, rakyat demo. Baru setelah ada korban atau tekanan, DPRD terlihat bergerak. Itu pun tindak lanjutnya sering tak jelas,” kritiknya.
Baca juga: Ironi Tunjangan Rumah DPRD DKI Rp 70 Juta di Tengah Sulitnya Kehidupan Warga
Perlu Rasionalisasi dari Pemerintah Pusat
Saipul mendorong pemerintah pusat, khususnya Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, untuk memberi arahan tegas kepada Menteri Dalam Negeri agar melakukan rasionalisasi tunjangan pejabat daerah dan anggota DPRD.
“Kalau pemerintah serius ingin menata penggunaan keuangan negara agar efektif dan efisien, besaran tunjangan harus ditinjau ulang. Jangan sampai rakyat dibebani kenaikan pajak, sementara pejabat dan anggota dewan menikmati pengecualian dengan tunjangan mewah,” katanya.
Menurut Saipul, kebijakan rasionalisasi sekaligus bisa menjadi wujud empati pemerintah pusat terhadap kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat yang saat ini sedang sulit.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini