Politik Layar Lebar, Jarak dengan Rakyat Kian Melebar

3 hours ago 1

DI TENGAH hiruk pikuk bangsa ini yang seakan tak ada ujungnya, publik bakal menyaksikan tayangan capaian pemerintah yang muncul di layar bioskop sebelum film utama diputar.

Layar lebar yang semestinya memutar kisah fiksi atau drama kemanusiaan justru menampilkan cuplikan capaian pemerintah.

Adegan demi adegan akan disusun dalam kemasan sinematik, cukuplah membuat citra pemerintah terdongkrak.

Asumsinya, konten mungkin tak jauh-jauh dari infrastruktur menjulang, program-program unggulan pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, Sekolah Rakyat, yang jujur saja, secara empiris belum bisa dibuktikan keberhasilannya, belum ada data capaian yang bisa diklaim.

Kemudian, pejabat tersenyum di hadapan kamera, data statistik dipoles menjadi grafis sinematik.

Penonton tidak memiliki pilihan selain menyaksikan tayangan itu sebelum film utama diputar.
Ada kontras yang perlu dipertanyakan.

Baca juga: Gebrakan Purbaya, Anomali Rp 71 Triliun, dan Masa Depan MBG

Orang membayar tiket untuk masuk ke ruang hiburan, tetapi terlebih dahulu harus menerima narasi pencapaian negara.

Ini bisa dibaca bukan hanya sebagai strategi komunikasi politik sepihak, tetapi juga sebagai simbol jarak yang semakin terasa antara pemerintah dan masyarakat.

Mengapa pemerintah seperti senang menciptakan jarak dengan masyarakat, bahkan hanya satu arah, padahal bukankah ruang bertemu dan menyampaikan pandangan dua arah secara langsung sebenarnya masih terbuka lebar?

Pemerintah bak di atas Monumen Nasional. Dari puncak Monas panorama Jakarta tampak luas, teratur, dan megah.

Gedung pencakar langit berderet, jalan tol membentang, laut terlihat samar di kejauhan hingga kerlap kerlip aneka warna lampu membuat ibu kota terang benderang di malam hari.

Namun, dari ketinggian itu tidak terdengar teriakan pedagang kecil yang dagangannya sepi, tidak terlihat wajah letih para pencari kerja yang mengantre di kantor perusahaan maupun pemerintah, dan tidak terasa keresahan keluarga yang menyesuaikan belanja bulanan akibat harga pangan yang terus naik.

Dari atas, kota tampak teratur dan penuh capaian, tetapi dari bawah realitas kehidupan ternyata jauh lebih rumit.

Posisi pemerintah yang terlalu tinggi membuat mereka melihat gambaran besar, tapi kehilangan detail riil masyarakat.

Dalam literatur ilmu politik dan sosiologi, hubungan negara dan masyarakat sering dianalisis melalui konsep jarak.

James Scott dalam karyanya Seeing Like a State menunjukkan bagaimana negara modern cenderung menyederhanakan kerumitan masyarakat ke dalam tabel, peta, dan statistik agar mudah diatur (Scott, 1998).

Penyederhanaan ini memudahkan birokrasi tetapi juga menciptakan kebutaan terhadap keragaman kehidupan nyata.

Charles Tilly menekankan bahwa pembentukan negara modern dilakukan melalui konsentrasi kekuasaan yang secara inheren menciptakan jarak dengan warga karena kontrol terpusat membutuhkan distansi (Tilly, 1990).

Sosiolog Jurgen Habermas mengingatkan pentingnya ruang publik sebagai arena komunikasi dua arah antara warga dan pemerintah, bukan sekadar ruang penyaluran pesan sepihak (Habermas, 1989).

Literatur ini menunjukkan bahwa jarak pemerintah dengan masyarakat bukanlah anomali, melainkan karakter dasar negara modern, namun masalah muncul ketika jarak itu terlalu lebar sehingga pemerintah kehilangan legitimasi sosial.

Penayangan capaian pemerintah di bioskop dapat dibaca sebagai bentuk klasik penggunaan ruang publik hiburan untuk propaganda.

Baca juga: Mesin Ekonomi Pincang: Ide Berlimpah, Eksekusi Lemah

Praktik serupa memiliki preseden panjang dalam sejarah. Uni Soviet sejak 1920-an, mewajibkan bioskop memutar newsreel yang menampilkan panen raya, keberhasilan industri, dan pidato pemimpin sebelum film utama.

Nazi Jerman pada era Goebbels menggunakan Wochenschau, berita mingguan yang ditayangkan di bioskop, untuk menampilkan kemenangan perang dan citra Adolf Hitler sebagai pemimpin karismatik (Welch, 2002).

Italia fasis melalui Istituto Luce memproduksi dokumenter dan cinegiornali yang memperlihatkan Mussolini sebagai sosok penyelamat bangsa (Forgacs, 1999).

Read Entire Article
Kunjungan Pemerintah | Dewasa | | |