KOMPAS.com - Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) tiga hal yang belum musnah dari negeri Indonesia. Sudah 80 tahun Indonesia merdeka, namun praktik tindakan-tindakan tak bermartabat ini masih saja mengganggu di kehidupan rakyat.
Lebih mirisnya lagi, kebanyakan pelakunya justru para pejabat dan pegawai pemerintahan yang seharusnya bekerja membangun negeri bukan menggerogotinya.
Ibu Pertiwi sedang bersusah hati, anak-anaknya yang kini mayoritas Gen Milenial dan Gen Z mendambakan perubahan. Realistis, supaya Ibu Pertiwi tetap sehat dan anak-anaknya pun mempunyai kehidupan yang lebih baik.
Perubahan ini mungkin bisa mulai diterapkan kepada anak-anak Indonesia. Sebab, psikolog Tiara Erlita, M.Psi., berpendapat bahwa bibit KKN tumbuh dari hal-hal sepele di kehidupan usia dini.
Baca juga: Apa Itu Duck Syndrome yang Sering Dialami Mahasiswa? Ini Penjelasan Psikolog
7 Hal Sepele Bibit KKN
Melalui akun Instagram @thatatayarah, psikolog tamatan Magister Profesi dari Universitas Padjajaran (Unpad) ini membeberkan tujuh hal sepele yang bisa menjadi bibit dari perilaku KKN.
Apa saja bibit sepele di kehidupan anak yang bisa memicu tindakan KKN di kehidupan dewasanya kelak?
1. Nilai tidak cukup tetapi dipaksa naik kelas
Nilai anak tidak memenuhi syarat, tapi orangtua "meminta tolong" kepada guru agar nilainya dinaikkan. Secara tidak langsung anak belajar bahwa hasil bisa dicapai tanpa usaha asal ada kuasa.
2. Orangtua mengambil alih masalah anak
Saat anak menghadapi konflik dengan teman atau tantangan akademis, orangtua langsung turun tangan dan menyelesaikan semuanya.
Ini mengakibatkan anak kehilangan kesempatan belajar bertanggung jawab dan malah berpikir "kalau ada masalah tinggal pakai orang dalam".
3. Sekolah favorit dengan jalur khusus
Anak tidak lolos seleksi sekolah tetapi orangtuanya menggunakan "jalur belakang" agar tetap bisa diterima. Pesan yang anak tangkap ialah aturan bisa dilanggar jika punya koneksi atau uang.
Dok. Unsplash/ Husniati Salma Ilustrasi anak bermain.
4. Membela anak mati-matian meski salah
Saat anak berbuat salah, misalnya mencontek atau melanggar aturan, tetapi orangtuanya malah membela tak ada habisnya di depan sang guru. Dari situ anak menangkap pesan bahwa yang penting punya pelindung dan benar atau salah urusan belakang.
5. Memberi hadiah pada guru atau pelatih dengan tujuan khusus
Bukan sekadar tanda terima kasih, tapi agar anak diperlakukan istimewa. "Privilege atau hak keistimewan dapat dibeli", menjadi pesan yang ditangkap anak.
6. Mengutamakan "orang dekat" dalam aktivitas anak
Contohnya, memilih anggota kelompok tugas atau lomba karya yakni anak yang dekat kita, bukan berdasarkan kemampuannya. Di kepala anak tertanam pengertian bahwa nepotisme itu wajar, yang penting keluarga atau teman sendiri diuntungkan.
7. Mengajarkan jalan pintas daripada proses
Saat anak malas mengajarkan PR dari sekolah, orangtua langsung mengerjakannya. Di benaknya muncul pemahaman yang penting selesai tidak penting prosesnya.
Yang orangtua bisa ajarkan pada anak
Psikolog yang telah mendapat Certified Therapeutic Playskills dari Academy of Play and Child Psychotherapy (APAC) di Inggris ini juga memberi tahu hal-hal yang bisa dilakukan orangtua untuk mengajari anak.