SEMARANG, KOMPAS.com - Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) sekaligus mantan Ketua Bawaslu, Nur Hidayat Sardini, mengkritik rendahnya komitmen pemerintah dan DPR dalam mendorong pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) di penyelenggaraan pemilu.
Padahal, menurutnya, pemanfaatan ICT bisa menekan biaya sekaligus meminimalisasi potensi pelanggaran.
Dalam Putusan Nomor 137/PUU-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi (MK) meminta pembentuk undang-undang mempertimbangkan penggunaan peralatan pemilihan secara elektronik yang pada dasarnya merupakan pengadopsian teknologi digital dalam pemilu.
Namun, hingga kini sosok yang akrab disapa NHS menyebut pemerintah dan DPR tidak menunjukkan komitmen dan dukungan atau political will untuk menindaklanjuti putusan MK dengan pembuatan payung hukum.
“Sudah ada jalan lempang dari putusan MK, tapi sampai sekarang belum ada keseriusan. Tidak ada cetak biru, tidak ada regulasi yang jelas dalam mengusahakan supaya pemanfaatan ICT di dalam proses pemilu,” ujar NHS di Seminar Nasional Integritas Penyelenggara Pemilu dan Masa Depan Demokrasi Indonesia di Universitas Diponegoro, Semarang, Jumat (12/9/2025).
Baca juga: Cerita di Balik Penangkapan Sopir Bank Jateng Anggun Tyas Usai Bawa Kabur Uang Rp 10 Miliar
Menurut NHS, mahalnya biaya pemilu salah satunya disebabkan oleh struktur penyelenggaraan yang sangat besar.
Buktinya, 64 persen anggaran pemilu terserap untuk honorarium petugas dari pusat hingga TPS.
“Kalau ada sistem e-counting, proses bisa lebih efisien. Pelanggaran pun bisa ditekan, karena pelanggaran itu kebanyakan dilakukan oleh orang. Kalau jumlah petugas dikurangi, otomatis potensi pelanggaran juga berkurang,” bebernya.
Kendati begitu, NHS menegaskan, pemanfaatan ICT harus memiliki dasar hukum agar bisa dipertanggungjawabkan.
Tanpa regulasi, improvisasi teknologi seperti yang selama ini dilakukan KPU bisa dipersoalkan.
“Jangan sampai nilai dasar demokrasi dikorbankan. Pemanfaatan ICT harus auditabel dan dijamin undang-undang,” katanya.
Dosen FISIP Undip itu menambahkan, kegagalan pemerintah dan DPR membahas isu ini menggambarkan rendahnya komitmen pembuat undang-undang terhadap reformasi pemilu.
“Sejak 2010 saat saya aktif jadi Bawaslu sampai saya aktif jadi anggota DKPP, sudah enggak pernah dibicarakan lagi. Di balai itu ada ceritanya soal kemungkinan proyek dan segala macam. Padahal teknologi bisa membuat pemilu murah, mudah, ramah, dan tetap demokratis,” tegasnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini