Reshuffle Sri Mulyani: Disiplin Fiskal Vs Soemitronomics

3 days ago 7

RESHUFFLE kabinet pada awal September 2025, mengejutkan banyak pihak. Bukan karena terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan, melainkan juga karena menyasar nama yang selama ini menjadi simbol disiplin fiskal Indonesia: Sri Mulyani Indrawati.

Saat itu, Sri Mulyani Indrawati sedang memimpin rapat internal sekitar pukul 14.30 WIB, ketika menerima telepon dari staf terdekat Presiden Prabowo Subianto bahwa ia akan digantikan—yang kemudian terjadi kurang dari satu jam setelahnya.

Namun, jika kita melihat lebih dalam, pergantian ini tidak semata-mata peristiwa politik praktis.

Ia juga mencerminkan benturan paradigma ekonomi: antara Sri Mulyani sebagi satu stream paradigma ekonomi yang bertumpu pada keterbukaan pasar dan disiplin anggaran, dengan Soemitronomics ala Prof. Soemitro Djojohadikusumo yang menekankan negara sebagai motor pembangunan dan industrialisasi nasional.

Sri Mulyani, lulusan University of Illinois dan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, identik dengan teknokrasi reformis.

Baca juga: Detik-detik Terakhir Kepergian Sri Mulyani dari Kemenkeu

Baginya, kredibilitas fiskal adalah kunci. Defisit harus terkendali, utang mesti transparan, dan investor perlu diyakinkan bahwa Indonesia bisa dipercaya.

Reformasi subsidi energi, digitalisasi pajak, hingga program bantuan sosial berbasis data adalah buah dari pendekatan itu.

Di sisi lain, Soemitronomics menekankan bahwa ekonomi bukan hanya persoalan angka, melainkan proyek kebangsaan.

Negara harus hadir secara aktif, melindungi industri dalam negeri, dan menggunakan kebijakan fiskal untuk mendorong industrialisasi.

Stabilitas memang penting, tetapi tujuan akhirnya adalah kemandirian ekonomi. Proteksi, intervensi, bahkan defisit bisa dibenarkan selama mendukung pembangunan jangka panjang.

Ketegangan dua paradigma ini tidak pernah benar-benar hilang dalam sejarah ekonomi Indonesia. Reshuffle kali ini memperlihatkan bagaimana peta sedang bergeser: dari teknokrasi reformis menuju developmental state.

Benturan paradigma itu tampak nyata dalam sejumlah kebijakan. Ambil contoh subsidi energi. Sri Mulyani berkali-kali menegaskan beban APBN yang membengkak akibat subsidi BBM tidak sehat. Ia mendorong pengalihan subsidi agar lebih tepat sasaran.

Namun, dalam perspektif Soemitronomics, subsidi energi dapat dipandang sebagai bentuk proteksi strategis: menjaga daya beli rakyat sekaligus menopang industri nasional.

Begitu juga soal hilirisasi. Sri Mulyani cenderung menekankan tata kelola, transparansi, dan keberlanjutan fiskal dari proyek tersebut.

Sedangkan pendekatan ala Soemitro menekankan intervensi negara, insentif besar-besaran, dan bahkan proteksi untuk memastikan industri dalam negeri tumbuh. Ketika pemerintah butuh insentif fiskal jumbo untuk hilirisasi nikel, posisi Sri Mulyani menjadi serba sulit.

Read Entire Article
Kunjungan Pemerintah | Dewasa | | |