MAJELIS Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat (12/9/2025), kembali mengukuhkan posisi mayoritas dunia terhadap isu Palestina.
Dengan 142 suara setuju, 10 menolak, dan 12 abstain, resolusi tidak mengikat itu mendukung Deklarasi New York mengenai solusi dua negara dan pengakuan atas negara Palestina.
Resolusi tersebut lahir di tengah krisis kemanusiaan Gaza yang telah berlangsung nyaris dua tahun dan menewaskan lebih dari 65.000 orang.
Di atas kertas, langkah ini menandai kemenangan diplomatik bagi perjuangan Palestina. Namun, pada praktiknya, resolusi ini memperlihatkan jurang besar antara norma internasional dan realitas politik kekuasaan.
Peta dukungan dan penolakan
Data suara di Majelis Umum memperlihatkan tren yang konsisten, di mana dunia mayoritas mendukung hak rakyat Palestina untuk merdeka. Dari 193 anggota PBB, 142 negara berdiri di barisan pengakuan Palestina.
Dukungan lintas kawasan, termasuk negara-negara Eropa Barat, Amerika Latin, Asia, dan Afrika, menunjukkan bahwa legitimasi internasional terhadap Israel semakin terkikis.
Baca juga: Politik Layar Lebar, Jarak dengan Rakyat Kian Melebar
Hanya sepuluh negara yang menolak resolusi, dengan Amerika Serikat dan Israel sebagai poros utama, didukung oleh negara-negara kecil Pasifik serta beberapa sekutu tradisional Washington.
Penolakan ini penting dicatat, ia mencerminkan isolasi politik Israel dan AS dalam forum internasional, sekaligus memperlihatkan betapa rapuhnya klaim mereka tentang "komunitas internasional".
Di sisi lain, suara abstain dari 12 negara menunjukkan masih adanya kalkulasi politik. Bagi sebagian negara, abstain adalah jalan tengah untuk menghindari konfrontasi langsung dengan Washington dan Tel Aviv, sembari tetap menjaga citra pro-HAM di mata publik domestik.
Dengan demikian, konfigurasi voting ini tidak hanya soal dukungan simbolik, melainkan juga cerminan dinamika geopolitik global.
Isi resolusi dan paradoks di dalamnya
Resolusi Majelis Umum PBB mengandung sejumlah poin penting, yakni dukungan atas pengakuan negara Palestina, proyeksi solusi dua negara sesuai Deklarasi New York, kutukan terhadap serangan Hamas 7 Oktober 2023, kecaman atas agresi Israel di Gaza, hingga usulan agar Otoritas Palestina memegang kendali penuh atas wilayah Palestina.
Selain itu, resolusi juga membuka ruang bagi pembentukan misi perlindungan sipil di bawah PBB.
Namun, resolusi ini sarat paradoks. Pertama, ia mengutuk Hamas sekaligus menuntut organisasi itu menyerahkan senjata kepada Otoritas Palestina.
Padahal, realitas di lapangan menunjukkan bahwa Hamas, meskipun kontroversial, masih menjadi kekuatan dominan di Gaza.
Usulan agar Otoritas Palestina mengambil alih kendali penuh seakan mengabaikan kompleksitas politik internal Palestina, termasuk persoalan legitimasi Fatah di Tepi Barat yang semakin tergerus.