ADA saat ketika sebuah rancangan undang-undang seperti cahaya senja. Redup, samar, dan hampir padam.
RUU Perampasan Aset pernah berada di titik itu. Ia diajukan, dibicarakan, lalu ditunda. Bertahun-tahun tersangkut di meja DPR, menunggu giliran yang tak kunjung datang.
Namun pada 9 September 2025, kabar baru datang. DPR akhirnya memasukkan RUU ini ke dalam Prolegnas Prioritas Perubahan Kedua 2025.
“RUU Perampasan Aset dimasukkan sebagai inisiatif DPR dalam Prolegnas Prioritas Perubahan Kedua 2025,” kata Ketua Baleg DPR, Bob Hasan.
Senja yang pekat itu seakan menyisakan cahaya jingga. Belum terang penuh, tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa kabut panjang mulai terbuka.
Korupsi di negeri ini tidak hanya soal uang tunai. Ia menjelma rumah di atas bukit, vila di tepi pantai, apartemen di Singapura, hingga rekening dolar di luar negeri. Semua bersembunyi di balik nama kerabat, perusahaan cangkang, atau rekening samaran.
Baca juga: RUU Perampasan Aset, Harapan atau Bumerang?
RUU Perampasan Aset hadir untuk menutup celah itu. Prinsipnya sederhana: negara berhak merampas aset yang tak jelas asal-usulnya, bahkan sebelum ada putusan pidana.
Non-conviction based asset forfeiture—model yang dipakai Italia melawan mafia, Amerika Serikat melawan kartel narkoba, dan Filipina memburu kekayaan Marcos—menjadi rujukan.
Pertanyaannya: mengapa Indonesia, dengan sejarah panjang korupsi, justru tertinggal dalam langkah ini?
Di Senayan, RUU ini lama diperlakukan seperti tamu yang tak diundang. Perdebatan lebih banyak tentang kepentingan ketimbang substansi.
Ada yang khawatir aturan ini bisa dipakai sebagai alat politik. Ada pula yang resah, sebab banyak elite juga menyimpan harta dengan asal-usul yang samar.
Maka, rapat ditunda. Panitia kerja tak kunjung terbentuk. Alasan prosedural dikedepankan: perlu sinkronisasi dengan regulasi lain, harus ada kepastian hukum, harus jelas mekanisme pengawasan.
Kini, setidaknya secara formal, pintu sudah terbuka. DPR mengambil inisiatif legislasi, menandai bahwa perdebatan tidak bisa lagi diulur tanpa arah.
Pertanyaannya: apakah pintu itu sungguh akan dibuka lebar, atau hanya sedikit diselipkan untuk menenangkan amarah publik?
Secara filosofis, pertanyaan pun muncul: apakah perampasan aset tanpa putusan pidana tidak melanggar asas due process of law? Bukankah setiap orang berhak dianggap tak bersalah sebelum terbukti?