LUMAJANG, KOMPAS.com - Matahari mulai memancarkan sinar merahnya pertanda malam akan segera tiba.
Seorang perempuan paruh baya dengan kaca mata kotak duduk tenang sambil merapikan buku-buku di Perpustakaan Daerah (Perpusda) Kabupaten Lumajang, Minggu (14/9/2025).
Dia adalah Tutik Endriyani (50), seorang pustakawan senior di Perpusda Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Gema klakson dan hiruk pikuk Jakarta kini telah digantikan oleh kesunyian sebuah kota kecil di kaki Gunung Semeru dengan tumpukan buku koleksi di rak perpustakaan.
Tutik memang lahir di Banyuwangi. Namun, hampir seperempat perjalanan hidupnya dihabiskan di Jakarta. Ia bergabung dengan salah satu non-govermental organization (NGO).
"Saya selesai kuliah di Yogyakarta langsung ke Jakarta bergabung dengan NGO," kata Tutik kepada Kompas.com, Minggu (14/9/2025).
Baca juga: Perjuangan Deni Dirikan Rumah Baca demi Nyalakan Lentera Literasi Anak Bangsa
Di balik kaca mata tebalnya, tersimpan cerita pengorbanan Tutik. Dulu, ia adalah satu di antara tiga serangkai yang merintis berdirinya NGO itu.
Gajinya saat itu bisa dikatakan fantastis dan sangat cukup untuk dibuat kehidupan sehari-hari di ibu kota.
Namun, panggilan hati untuk mengabdikan diri pada literasi membawanya terbang jauh ke Lumajang, menjadi seorang pustakawan sederhana.
Sejatinya, keputusannya ini sempat dipertanyakan teman-teman dekatnya. Sulit bagi mereka memahami mengapa ia memilih menukar kemewahan di ibu kota dengan kesederhanaan rak-rak buku yang berdebu.
Namun, bagi Tutik, ketentraman hidup tak bisa diukur hanya dengan tumpukan uang.
Senyum anak-anak yang matanya berbinar saat menemukan buku favoritnya di sudut perpustakaan, kini jadi kesejukan tersendiri untuknya.
Di sisi lain, dorongan dari orang tua membuatnya semakin yakin bahwa perpustakaan adalah rumah di mana Tutik harus pulang.
Baca juga: Kuda Pustaka: Upaya Menanam Literasi di Lereng Gunung Slamet
"Jadi dulu ceritanya saya masih di Jakarta itu disuruh orang tua untuk menemani adik saya daftar PNS, saya coba daftar ternyata diterima, adik saya malah yang gak lolos, saya anggap ini jalan yang diberikan Tuhan untuk saya," ungkap Tutik.
"Kalau gaji ya jauh besaran waktu di Jakarta, kalau sekarang ya gaji layaknya PNS, cukup memang untuk sehari-hari, tinggal bagaimana kita mengolah saja," lanjutnya.