GAZA, KOMPAS.com – Pasukan Israel kembali menggempur Jalur Gaza dengan serangan udara yang menewaskan sedikitnya 53 warga Palestina dan meratakan 16 bangunan di Kota Gaza, termasuk tiga menara hunian.
Petugas medis melaporkan, sebanyak 35 korban tewas pada Minggu (14/9/2025) terjadi di Kota Gaza.
Selain itu, Kementerian Kesehatan Palestina menyebut dua warga meninggal karena kekurangan gizi.
Baca juga: Donald Trump Siap Sanksi Rusia Lebih Keras, Tunggu Aksi NATO
Dengan demikian, jumlah korban jiwa akibat kelaparan sejak pecahnya perang Israel mencapai 422 orang.
Serangan ke menara Al-Kawthar
Militer Israel menandai menara al-Kawthar di lingkungan Remal selatan sebagai target. Dua jam setelah peringatan, rudal menghancurkan gedung tersebut. Pengeboman intensif memaksa puluhan ribu warga kembali mengungsi.
“Kami tidak tahu harus ke mana. Kita butuh solusi untuk situasi ini. Kita sekarat di sini,” ujar Marwan Al Safi, seorang pengungsi Palestina.
Kantor Media Pemerintah di Gaza mengecam serangan sistematis terhadap bangunan sipil. Menurut mereka, klaim Israel menargetkan kelompok bersenjata tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
“Pasukan Israel membom sekolah, masjid, rumah sakit, pusat kesehatan, hingga markas organisasi kemanusiaan internasional,” demikian pernyataan kantor tersebut.
Baca juga: Marco Rubio Tiba di Israel, Serangan Udara Gaza Tewaskan Belasan Warga Palestina
Fasilitas UNRWA jadi sasaran
Kepala UNRWA Philippe Lazzarini menyatakan dalam unggahan di X bahwa 10 gedung badan PBB tersebut diserang hanya dalam empat hari terakhir di Kota Gaza. Serangan itu meliputi tujuh sekolah dan dua klinik yang menampung ribuan pengungsi.
“Tidak ada tempat yang aman di Gaza. Tidak seorang pun yang aman,” tulis Lazzarini.
Gelombang pengungsi terus bergerak ke selatan menuju al-Mawasi, wilayah yang disebut Israel sebagai zona aman, meski berulang kali juga diserang.
Ahmed Awad, warga Gaza utara, mengatakan ia tiba di al-Mawasi pada tengah malam setelah dihujani mortir. “Tidak ada air, tidak ada toilet, tidak ada apa-apa. Keluarga-keluarga tidur di tempat terbuka. Situasinya sangat memprihatinkan,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Pengungsi lain, AbedAllah Aram, menuturkan keluarganya kesulitan memperoleh air bersih dan makanan.
“Musim dingin semakin dekat, dan kami sangat membutuhkan tenda baru. Wilayah ini tidak mampu menampung lebih banyak keluarga,” katanya.
Seorang pria lain yang sudah seminggu berada di al-Mawasi mengaku tidak mendapat tempat berlindung. “Bukan hanya rudal yang menghujani kami, tetapi kelaparan juga melahap kami. Pengungsian sama menyakitkannya dengan mengeluarkan jiwa dari raga,” ungkapnya.
Baca juga: Keluarga Sandera: Netanyahu Satu-satunya Hambatan Akhiri Perang Gaza