JAKARTA, KOMPAS.com – Aktivis menilai pelajar memiliki hak konstitusional untuk ikut serta dalam demonstrasi, dan negara berkewajiban menjamin keamanan mereka.
Pernyataan itu disampaikan dalam konferensi pers Gerakan Muda Lawan Kriminalisasi di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat, Kamis (11/9/2025).
Salsabila Putri dari Konde.co menegaskan, pelajar juga memiliki hak untuk berdemonstrasi, baik melalui aksi damai maupun bentuk protes lainnya.
Baca juga: TAUD: Delpedro Marhaen Tak Provokasi Pelajar tapi Ajarkan Berpikir Kritis
“Mereka (pelajar) punya hak. Kalau memang ada pandangan bahwa pelajar dilarang ikut ketika aksi, itu yang berpotensi chaos atau terjadi kekerasan,” ujar Salsabila.
Ia menilai kekerasan dalam aksi di Indonesia justru kerap dipicu aparat.
“Tapi persoalannya, kekerasan dalam aksi di Indonesia kebanyakan dimulai oleh siapa? Oleh aparat,” lanjutnya.
Menurut Salsabila, sekolah dan lembaga pendidikan seharusnya berperan aktif mengajarkan praktik berdemonstrasi yang benar dalam kerangka demokrasi.
“Aparat itu punya kewajiban melindungi peserta aksi setelah ada pemberitahuan resmi. Kalau perlindungan itu gagal, ruang aman bagi pelajar otomatis hilang,” ujarnya.
Karena itu, ia menekankan perdebatan soal boleh tidaknya pelajar ikut aksi tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab aparat.
“Persoalan boleh tidaknya pelajar ikut demo tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab aparat untuk menjamin keamanan mereka,” tambahnya.
Baca juga: Pelajar dan Mahasiswa Bersihkan Sampah di CFD, Keluhkan Puntung Rokok Berserakan
Senada, Hema Malini dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menuturkan, solidaritas pelajar dalam aksi tetap ada meski sebagian berhalangan hadir karena tengah menjalani ujian.
Menurutnya, pelajar terdampak langsung oleh kebijakan negara sehingga wajar jika mereka memiliki hak menyuarakan pendapat. Namun, ia mengkritik pola kekerasan aparat yang menurutnya begitu masif.
“Yang kami temukan di lapangan justru kekerasan aparat begitu luar biasa, khususnya terhadap pelajar. Dari penggunaan gas air mata, cara penanganan massa, hingga kekerasan fisik, semua itu menimbulkan trauma,” kata Hema.
Ia mengingatkan, pola serupa pernah terjadi saat aksi Reformasi Dikorupsi.
“Jika pola ini terus berulang, maka larangan pelajar ikut aksi hanya akan menjadi cara negara untuk membungkam demokrasi,” jelasnya.