ADA luka yang “lebih menyakitkan” dari kemiskinan, yaitu kehilangan harapan di usia muda. Luka itu berbahaya karena menggerogoti inti sebuah bangsa—keyakinan generasi mudanya bahwa masa depan masih mungkin.
Luka inilah yang membakar Tunisia, ketika Mohamed Bouazizi, seorang pemuda penjual sayur, menyiramkan bensin ke tubuhnya setelah dihina aparat.
Api yang ia nyalakan bukan sekadar bunuh diri, melainkan tanda bahwa satu generasi sudah kehilangan masa depan.
Dari tubuh yang terbakar itu, lahirlah Arab Spring—rezim Zine El Abidine Ben Ali tumbang, dan gelombangnya merembet ke Kairo, Tripoli, hingga Damaskus, mengguncang Timur Tengah.
Namun, yang sering terlupakan bukanlah dramanya api, melainkan akar yang menyulutnya: pengangguran pemuda mendekati 30 persen, korupsi yang mencekik usaha kecil, dan stagnasi ekonomi yang meruntuhkan pijakan kelas menengah.
Di Tunisia, pemuda terdidik yang tak menemukan pekerjaan bersatu dalam nasib dengan rakyat kecil yang sudah lama kehilangan percaya pada negara.
Baca juga: Jangan Remehkan Isu Kebutuhan Lapangan Pekerjaan
Bouazizi hanyalah percikan; bahan bakarnya sudah lama menumpuk—frustrasi, ketidakadilan, dan runtuhnya harapan sosial.
Indonesia, akhir Agustus 2025. Api itu tidak menyala di tubuh seorang pemuda, melainkan di jalan-jalan Jakarta, Bandung, Medan, hingga Surabaya.
Ribuan anak muda turun ke aspal, dipicu isu tunjangan DPR yang nilainya enam kali lipat upah minimum Jakarta.
Namun, sebagaimana di Tunisia, percikan kecil menemukan bahan bakar besar: rasa ditinggalkan, rasa tidak dihargai, rasa bahwa masa depan mereka tidak lagi dijanjikan oleh negeri yang mereka cintai.
Nama Affan Kurniawan lalu muncul sebagai simbol puncak kemarahan. Ia bukan demonstran. Ia bukan aktivis. Ia hanya seorang pengemudi ojek daring yang sedang mengantar makanan untuk pelanggannya.
Namun di tengah kekacauan, kendaraan taktis polisi merenggut nyawanya. Affan adalah bukti pahit bahwa mereka yang sekadar mencari nafkah pun bisa menjadi korban.
Sejak itu, protes bukan lagi soal tunjangan DPR. Ia menjelma menjadi jeritan kolektif: apakah hidup orang biasa benar-benar berharga di negeri ini?
Data dari Aliansi Ekonom Indonesia memberi rupa pada jeritan itu. Pada Februari 2025, BPS mencatat 16,16 persen pemuda usia 15–24 tahun—sekitar 3,65 juta jiwa, setara dengan seluruh penduduk Yogyakarta—menganggur.
Angka ini sudah hampir satu dekade bertahan di atas 15 persen, tiga kali lipat pengangguran orang dewasa, dan kini termasuk tertinggi di Asia Tenggara. Seolah-olah satu generasi tengah berdiri di persimpangan tanpa arah.