PUBLIK sempat bersorak lega ketika Kementerian Keuangan menegaskan bahwa tanah dan bangunan yang diperoleh dari warisan tidak dikenakan Pajak Penghasilan (PPh).
Pernyataan ini seakan menjadi jawaban atas keresahan lama: apakah negara akan turut menarik pajak dari harta peninggalan orangtua yang seharusnya menjadi hak anak atau keluarga pewaris?
Namun, kegembiraan itu tidak sepenuhnya lengkap. Sebab, di balik kabar gembira tersebut, terselip catatan tegas: meski warisan bebas PPh, ahli waris tetap berkewajiban membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ketika melakukan balik nama atas tanah atau bangunan warisan.
Pertanyaannya, apakah dualisme kebijakan ini merupakan wajah keadilan fiskal, atau justru sekadar perpindahan beban dari satu pintu ke pintu lain?
Dalam perspektif hukum perdata, warisan adalah peralihan hak karena kematian pewaris. Ia bukanlah transaksi komersial, melainkan konsekuensi kodrati dari keberlangsungan hidup manusia. Pandangan ini juga tercermin dalam hukum pajak.
Baca juga: Dampak Guyuran Rp 200 Triliun Dana Pemerintah ke Bank terhadap Perekonomian
Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, pemerintah menegaskan bahwa warisan dikecualikan dari objek PPh.
Artinya, tanah dan bangunan yang diperoleh dari pewaris tidak dianggap sebagai “penghasilan” yang menambah kemampuan ekonomis ahli waris.
Secara normatif, kebijakan ini patut diapresiasi karena mengedepankan prinsip keadilan: negara tidak mengambil pajak dari sesuatu yang bukan hasil usaha atau keuntungan, melainkan warisan keluarga.
Meski demikian, ada syarat administratif yang tidak kalah penting: ahli waris tetap harus mengajukan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh ke kantor pajak. Tanpa SKB, proses balik nama di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dapat terhambat.
BPHTB
Bayangkan sebuah keluarga di Jakarta yang mewarisi rumah sederhana di kawasan pinggiran kota. Harga pasaran tanah di sana sudah menembus Rp 10 juta per meter persegi. Dengan luas tanah 150 meter, nilai objek warisan mencapai Rp 1,5 miliar.
Meski rumah itu hanya peninggalan orangtua dan tidak dijual, ahli waris tetap harus membayar BPHTB sekitar 5 persen setelah dikurangi NPOPTKP.
Di Jakarta, NPOPTKP ditetapkan Rp 300 juta. Artinya, dasar pengenaan BPHTB sebesar Rp 1,2 miliar, sehingga beban pajak yang harus dibayar mencapai Rp 60 juta.
Bagi keluarga kelas menengah, angka Rp 60 juta jelas bukan jumlah kecil. Mereka bisa jadi harus menjual sebagian aset, bahkan menggadaikan harta lain untuk melunasinya.
Bandingkan dengan keluarga di sebuah kabupaten di Sumatera Barat. Mereka mewarisi rumah gadang dengan tanah seluas 300 meter di kampung.
Baca juga: Kompleksitas Masalah MBG dan Laporan ABS Bawahan Menkeu Purbaya
Nilai pasar tanah hanya Rp 500.000 per meter, sehingga total objek pajak Rp 150 juta. Karena NPOPTKP di daerah itu Rp 300 juta, warisan tersebut bebas dari BPHTB.